[FF Remake] The Dark Heroine – Dinner with a Vampire

15998621

From the novel by : ABIGAIL GIBBS (The Dark Heroine – Dinner with a Vampire) | Tittle : Chapter 5 | Main cast : Im YoonA, Park Chanyeol, Park Jungsoo, Kris Wu, Seo Yiahn | Other cast : Oh Sehun, Kim Jiwon, Lee Hyukjae, Kangta, Kim Jongin, Choi Junhong, Seo Kangjoon, Park Minha | Support cast : Lee Donghae, Cho Kyuhyun, Henry Lau, Kim Himchan, Lee Dongwook | Genre : Romance, hurt, fantasy, AU, thriller | Rating : PG+21 | Length : Chapter/Series

Disclaimer : “Aku tak tahu apakah kalian akan senang atau bosan dengan ini. Kali ini, aku akan membawakan kurang lebih 12.611 kata dengan 456 paragraf. Sangat panjang, bukan? Jadi, nikmatilah apa yang sudah aku usahakan. Semoga tidak mengecewakan^^ J”

NB : yang ingin mengunjungi wattpad Abigail Gibbs, bisa pilih alamat ini (jika tersambung) http://www.wattpad/user/Canse12 atau bisa mencari cerita aslinya di google dengan judul dan pengarang yang sama

.

.

.

.

Yoona berjalan ke ruang makan dengan digandeng oleh Kyuhyun, sementara Kris mengikuti di belakang. Lilin berdiri di penopangnya di dinding, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Tirai merah di jendela sudah ditutup, dan di tengah ruangan terdapat meja yang sangat panjang, ditutupi taplak meja warna merah gelap dan seperangkat peralatan makan—dan piring porselen yang harganya pasti sangat mahal.

Kyuhyun membawanya ke bagian tengah meja, ia menarik kursi untuk gadis itu. Yoona duduk, dan dalam sekejap Kyuhyun sudah duduk di seberangnya, menarik kursi untuk dirinya sendiri. Vampir lain duduk dikursi masing-masing. Di sebelah kirinya, duduk pria Amerika dan di sebelah kanannya, duduk Kris.

Setelah beberapa menit, semua orang duduk dan obrolan memenuhi ruangan. Yoona berbalik ke Kris. “Kenapa aku disini?” bisiknya, mencoba menjaga suaranya sepelan mungkin.

“Yah, karena pagi ini anggota Dewan membahas apa yang harus di lakukan terhadapmu, mereka ingin bertemu langsung denganmu.”

“Kenapa mereka membahasku?” tanya Yoona dengan gugup.

“Ada semacam.. perkembangan.” Kris mengambil satu dari sekian banyak pisau yang berjejer di meja dan melihat ekspresi ketakutan Yoona melalui mata pisaunya, ia meletakkan lagi pisau tersebut. “Oh, jangan terlihat secemas itu. Kau tidak bisa meninggalkanku semudah itu.”

Yoona bukan mengkhawatirkan itu.  Ia justru mengkhawatirkan “perkembangan”.

“Perkembangan seperti apa?”

“Aku tidak punya kuasa untuk mengatakannya kepadamu. Tapi—“ Kris menoleh ke arah pintu, sebelum memegang siku Yoona dan menarik gadis itu agar berdiri. “Pertunjukannya akan segera dimulai.”

Pintu terbuka dan sang Raja masuk. Semua orang terdiam, bergerak dengan gelisah saat mereka berdiri, menunggu kursi di ujung meja ditarik sedikit dan didorong lagi setelah sang Raja duduk; baru setelah sang Raja duduk, tiga puluh orang tamu lainnya—termasuk anak-anak keluarga Park—duduk.

Yoona mencondongkan tubuh ke depan, menyerap kehadiran sang Raja, menyadari bahwa sang Raja dan Chanyeol memakai setelan yang sama dengan sulaman emblem. Satu-satunya perbedaan nyata antara ayah dan anak itu adalah senyuman arogan yang diberikan Chanyeol saat mengedipkan mata kepada Jiwon, yang terkikik, memuntir rambutnya, dan membalas kedipan mata itu. Saat Yoona menatap Chanyeol, tatapannya beralih ke arah gadis itu. Seringaian Chanyeol melebar, tetapi perhatiannya teralih saat pelayan menuangkan segelas darah.

Ada pelayan yang muncul di samping Yoona juga, menawarkan ia segelas anggur. Gadis itu menerimanya, dan pelayan itu kembali dalam hitungan detik—hanya dalam waktu satu atau dua menit, pelayan sudah mengisi semua gelas dan bergeser ke sisi ruangan, tempat mereka mengambil sejumlah makanan. Makanan itu tidak terlihat mewah—hanya canape kecil dan semangkuk sup. Yoona menerima hidangan itu dan memandangi jejeran pisau, garpu, dan sendok yang diletakkan di depannya, tidak yakin harus menggunakan yang mana. Yoona menoleh ke sebelah kanannya untuk meminta bantuan, tetapi Kris dan Kyuhyun sudah terlibat percakapan serius dengan orang-orang yang ada di sisi lain mereka.

“Gunakan dari yang terluar sampai ke dalam,” bisik sebuah suara berlogat Amerika di samping kirinya. Yoona menoleh, terkejut saat melihat vampir yang tak ia kenal berbicara kepadanya.

“Terima kasih,” bisik Yoona balik, mengambil sendok yang paling luar. Vampir itu mencelupkan sendoknya ke mangkuk sup dan mengangkatnya ke mulut. Yoona meniru tindakan itu, mengamati bagaimana caranya makan. Yoona meringis saat merasakan sup itu.

Asparagus. Ihhh.

Vampir itu tersenyum sedikit, merasa geli oleh tingkahnya. “Aku Henry,” ujar vampir itu.

“Yoona,” jawab Yoona, membalas senyumannya.

“Oh, aku tahu,” kata vampir itu sambil terkekeh.

Yoona menaikkan sebelah alisnya, tidak senang karena semua orang tahu namanya, tapi Henry hanya tertawa lagi.

“Jadi, katakan kepadaku, Yoona, bagaimana pendapatmu soal keluarga kerajaan?” tanya Henry. “Katakan yang sejujurnya,” tambahnya.

Yoona salah tingkah. “Mereka semua baik; mereka belum melakukan apa-apa terhadapku, tapi Chanyeol…” ia terdiam. Henry terlihat kaget. “Apa?” tanyanya.

Aku dan Chanyeol berteman.”

Uups.

Oh,” gumam Yoona dengan canggung. “Yah, aku rasa dia mungkin…”

“Tidak apa-apa, kau berhak memiliki pendapat.” Henry tersenyum, tapi kelihatannya terpaksa. Mereka terdiam selama beberapa saat, kemudian Henry mulai mengobrol kepada Kris yang ada di sebelahnya.

Aku rasa mereka juga berteman. Dunia memang sempit.

Yoona diselamatkan dari perenungan mentalnya oleh kedatangan hidangan utama. Semua orang mendapatkan steak yang dimasak sangat sebentar sehingga masih ada darah yang keluar dari dagingnya. Sebuah piring ditempatkan di depannya dan ia terkejut saat mendapati makanan yang ada di atasnya terlihat seperti makanan vegetarian. Namun, gadis itu hanya menyenggolnya dengan garpu, tidak yakin itu benar-benar makanan vegetarian. Saat semua orang makan, ruangan menjadi sunyi. Yoona mengamati yang lain makan, rasanya sangat aneh melihat vampir menyantap makanan manusia dengan pisau dan garpu.

Sangat beradab.

“Yoona, aku dengar kau diterima di universitas. Ceritakan pada kami jurusan apa yang rencananya akan kau ambil?” tanya Kyuhyun, suaranya memecah kesunyian.

“O-oh,” mulai Yoona dengan suara tergagap karena gugup, terkejut karena sekarang hampir sebagian besar vampir menoleh ke arahnya dengan ekspresi penasaran. “Sebenarnya aku berencana mempelajari politik, filosofi,dan ekonomi,” jelasnya, tahu dengan pasti itu bukan jawaban yang mereka harapkan—karena bidang studi pilihannya menegaskan bahwa ia akan mengikuti jejak karier ayahnya.

Kotak hitam di dalam kepalanya bergetar, dan Yoona mengerutkan kening sedikit, mencoba untuk mengunci kecurigaannya pada ayahnya.

“Ah, aku mengerti,” jawab Kyuhyun. Yoona menunduk ke lantai, merasa malu.

“Kau pasti siswa yang cerdas,” sambung Kris.

“Aku rasa….”

“Kau bergurau? Sekarang ini semua orang bisa masuk universitas!” sela Jiwon dengan muak.

Chanyeol mengangkat gelasnya, dan Yoona yakin mendengarnya bergumam, “Kau tidak bisa, Jiwon,” sebelum menyesap minumannya.

“Benar. Pendidikan bukan lagi diperuntukan hanya untuk kaum elite,” ujar seorang pria tua. Rambut berubannya diikat ekor kuda, janggutnya menggantung sampai ke bahu. Pria tua itu berbicara kepada Jiwon, tapi matanya menatap Yoona dengan ketajaman yang menggelisahkan.

Kris menyadari tatapan pria tua itu dan bergeser ke arah Yoona. “Yoona, ini Kangta. Dia vampir yang pernah kuceritakan kepadamu sebelumnya. Vampir yang sangat tua,” tambah Kris sambil berbisik. Pria itu, Kangta, tersenyum.

“Iya, vampir yang sangat tua,” ulang Kangta, menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir yang langsung diisi ulang lagi. Kangta tergelak dan memalingkan wajah, terlihat puas. Yoona menaikkan sebelah alisnya kepada Kris, yang memasang ekspresi bingung sama sepertinya.

“Terkadang dia memang seperti itu,” gumam Kris.

Gelas-gelas terus diisi ulang atas perintah sang Raja, tapi saat para pelayan melangkah maju, botol yang mereka bawa sudah kosong. Semua tamu terdiam, menatap Yoona—sumber darah terdekat. Yoona melihat Henry dan Chanyeol bertukar tatapan khawatir, dan Kris juga melakukan hal yang sama sambil diam-diam menggeser kursi gadis itu ke dekatnya. Percakapan terhenti, dan suasana berubah sunyi senyap.

“Yoona, pergi,” tegas Kyuhyun saat Kris menarik kursinya. “Cepat.”

Yoona tidak perlu diberi tahu dua kali. Ia bergegas bangun dari kursinya dan mundur ke dinding, meraba-raba ke seberang ruangan karena ia terlalu takut berbalik badan dan memunggungi mereka. Setiap pasang mata yang haus darah mengikutinya sampai ia berada di depan pintu dan berlari ke luar.

Yoona bersandar di dinding koridor dengan napas terengah. Air mata mengalir dari matanya yang pedih, dan ia sangat merindukan tempat tidurnya sendiri di rumah, saat ia selalu bisa merasa aman dan nyaman. Tikaman kerinduan akan rumah menusuk perutnya lagi. Saat itu, pintu terbuka dan Chanyeol keluar. Yoona menyeka airmatanya sebelum Chanyeol melihatnya menangis.

“Kau baik-baik saja?” tanya Chanyeol. Yoona mengangkat bahu, mencoba untuk terlihat tidak peduli.

“Kau tahu, mereka tidak akan menyerangmu,” ujar Chanyeol. Yoona menatapnya dengan sorot tidak percaya. “Jika mereka membunuhmu, akan ada perang besar-besaran. Percaya atau tidak, kami tidak mau itu,” lanjut Chanyeol dengan murung.

“Pertemuan ini membahas tentang aku dan itu sebabnya semua anggota Dewan berkumpul,” jawab Yoona, dengan sama murungnya. Chanyeol mengangguk. “Kenapa sekarang?”

Sambil menghela napas, Chanyeol bersandar di dinding di sebelahnya. “Karena kami baru saja mendapatkan informasi bahwa pemburu vampir membuat kesepakatan damai dengan sekelompok vampir iblis. Mereka berencana untuk menyerang kami, menculikmu, dan hanya Tuhan yang tahu apa lagi.”

“Aku—“

“Jangan takut; tidak akan ada satu pun pemburu vampir yang bisa menginjakkan kaki disini,” sela Chanyeol. Ia menatap kosong ke dinding di seberang mereka, larut dalam pikirannya sendiri.

“Terkadang hidup bisa sangat menyebalkan,” gumam Yoona kepada dirinya sendiri.

“Benar sekali.” Yoona mendengar Chanyeol berkata seperti itu, meskipun dengan suara yang sangat pelan. Yoona berbalik ke Chanyeol karena terkejut. Chanyeol merasakan tatapannya dan ikut berbalik.

“Aku tidak aman lagi disini, iya kan?” dalam sekejab, Chanyeol sudah ada tepat di depannya, bernapas di lehernya, dadanya naik turun di dada gadis itu. Jantung Yoona berdetak cepat.

“Kau tidak pernah aman disini, Im Yoona.”

Chanyeol menundukkan kepalanya ke leher Yoona, tangannya memegangi pinggul gadis itu. Yoona mundur sejauh mungkin, tapi Chanyeol terus merapat ke tubuhnya. Yoona gemetar dan tangannya mengepal, tubuhnya menegang, menunggu tikaman rasa sakit. Ia mencoba untuk mendorong Chanyeol, tapi ia bergeming—gadis itu ragu Chanyeol bahkan merasakan dorongannya. Taring Chanyeol menyentuh lehernya, menggesek kulitnya. Yoona merintih dan berusaha menjauh. Chanyeol menarik napas panjang, menghirup aroma tubuhnya. Mulut Chanyeol terbuka lebih lebar dan Yoona bersiap untuk merasakan gigitannya.

“Jangan. Ku mohon.” air mata mengalir ke pipinya, saat Yoona memohon kepada Chanyeol. “Chanyeol,” bisiknya. Yang membuatnya terkejut, pria itu menjauh, matanya terbuka lebar. Air mata mengalir lagi ke pipinya dan Chanyeol menangkapnya dengan ibu jari, menyekanya dengan lembut.

“Aku heran kenapa kau masih belum mengerti.” tangan Chanyeol membelai leher bagian samping tubuh Yoona, sampai tangannya memegangi pinggulnya lagi. “Aku menginginkanmu, darahmu, dan tubuhmu. Kau juga menginginkanku. Aku bisa melihatnya di matamu dan merasakannya di detak jantungmu.”

Mata Yoona mencari-cari lantai, tetapi yang bisa ia lihat hanyalah Chanyeol.

“Kau tidak mengerti bahwa sekarang ini aku bisa saja mematahkan lehermu dan menghisap darahmu sampai kering. Kau tidak mengerti bahwa kau adalah makanan dan kami kesulitan untuk menganggapmu sebagai makhluk. Yang setara. Karena kenyataannya memang bukan.”

“Dan kau juga tidak mengerti bahwa aku adalah manusia yang memiliki perasaan,” balas Yoona.

Chanyeol mundur sedikit, menjauhkan tangannya dari tubuhnya, mencari-cari wajah gadis itu dengan matanya. “Tidak, aku tidak mengerti,” gumam Chanyeol. “Kau tidak akan pernah aman disini, Im Yoona. Ingat itu. Tidak akan pernah.”

Chanyeol berbalik memunggungi Yoona, dan gadis itu bisa mendengar napasnya terengah, melihat tangannya terkepal saat pria itu berusaha menahan dorongan untuk menggigitnya. Chanyeol berbalik lagi, menopangkan tangannya pada dinding di kedua sisi kepala Yoona. “Menjauhlah dari Cho Kyuhyun,” ujar Chanyeol, matanya tajam dan ancaman terdengar jelas dari kata-katanya.

“Kenapa?” tanya Yoona, terkejut mendengar perubahan nada suara Chanyeol.

“Karena aku tidak memercayainya,” geram Chanyeol.</font>

“Kau tidak memercayainya?” gumam Yoona, terkejut. “Jika kau tidak menyadarinya, bukan dia yang berusaha menggigitku tadi. Aku sama sekali tidak takut kepadanya.”

“Sialan, Girly! Kenapa kau tidak mendengarkan aku? Percayalah kepadaku!” teriak Chanyeol, semua kelembutannya sudah lenyap dengan sangat cepat. Yoona meringis dan tanpa sengaja membenturkan kepalanya ke dinding.

“Percaya padamu?” pekiknya. “Kenapa aku harus percaya kepadamu? Kau menculikku! Kau terus berusaha menghisap darahku! Aku lebih memercayai Kyuhyun daripada dirimu!”

“Tapi, kau tidak mengenal Kyuhyun! Kau tidak tahu apa yang mampu dilakukannya!” tegas Chanyeol sambil memegangi bahu Yoona dan mengguncangkannya dengan kuat seolah gadis itu hanyalah boneka kain.

“Tidak. Kau benar. Aku memang tidak mengenalnya,” jawab Yoona dengan lebih tenang sambil menarik napas panjang. Tangan Chanyeol terangkat dari bahunya seolah kulitnya terbuat dari batu bara panas. Yoona bergeser menjauh dari Chanyeol. “Tapi, aku akan mengambil resikonya, terima kasih,” tegasnya.

Wajah Chanyeol menyala oleh amarah, matanya berubah hitam pekat. Yoona berbalik dan berjalan pergi.

“Kau mau pergi kemana?” teriak Chanyeol dari koridor.

“Ke kamarku!” teriak Yoona, berbalik untuk menghadap Chanyeol. Mata mereka bertemu, dan gadis itu memelototkan mata kepadanya selama hampir semenit penuh.

“Kepalamu yang menjadi taruhannya, Girly. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu,” ujar Chanyeol.

Yoona berbalik lagi dan berlari menyusuri aula depan, ke arah tangga. Namun, saat ia sampai di depan tangga, ia tidak bisa menahan diri untuk melontarkan kata-kata terakhir. Yoona berbalik untuk melihat Chanyeol masih menatapnya, amarah masih terlihat jelas di wajahnya.

“Kau tahu, Chanyeol? Aku berharap kau membunuhku saja di Seoul! Semua akan berakhir disana. Dengan begitu, aku tidak perlu melalui semua ini. Kenapa kau tidak membunuhku saja saat itu? Kenapa?”

Chanyeol sendiri tidak tahu kenapa.

.

.

Pertemuan Dewan memang kesenangan terbaik yang bisa didapatkan seseorang, pikir Chanyeol dengan getir sambil menatap ke luar jendela. Chanyeol duduk di ujung meja, hanya setengah mendengarkan sang Raja yang sedang berdebat dengan Cho Kyuhyun, entah tentang apa. Seluruh keluarga Cho terkenal sebagai penipu. Mereka berpikir matahari berputar mengelilingi mereka, tetapi Kyuhyun yang terburuk di antara semuanya. Tenang, pendiam, dan terkendali, Kyuhyun selalu menjadi seorang pemikat. Tidak heran Girly bisa dibodohi olehnya. Kyuhyun akan mendekatinya, membuainya sampai ia lupa diri, kemudian menyerang dan menggigitnya. Apalagi, jika ia masih sangat muda dan seorang wanita.

Chanyeol mengunci pikirannya saat berlangsungnya pertemuan. Satu-satunya penghiburannya adalah cengkeraman kuat di kakinya, yang berasal dari Jiwon yang duduk di sampingnya. Jiwon menatapnya dengan mata memuja sambil menggerakkan bulu matanya, dan sesekali memberi Chanyeol kedipan mata menggoda.

Jiwon mulai membelai bagian dalam pahanya dan Chanyeol bergetar, menikmati rasa gairah yang menyebar ke seluruh sistem tubuhnya. Ia bergetar lagi saat tangan Jiwon ke resleting celananya.

“Hantu melewati kuburanmu, Chanyeol?” tegur Kyuhyun dari sisi lain ruangan, ada kekhawatiran palsu di wajahnya. Mata birunya berkilat geli.

Chanyeol tersentak dari lamunannya. “Tidak, aku baik-baik saja, Kyuhyun,” jawabnya.

Park Jungsoo memelototkan mata kepadanya. Ia menggelengkan kepalanya, dan Chanyeol sadar ayahnya tahu tentang keberadaan tangan Jiwon. Diam-diam, Chanyeol menurunkan tangannya ke bawah meja dan memindahkan tangan Jiwon ke lututnya. Sejenak, Jiwon menatapnya dengan sorot sakit hati. Tapi Chanyeol tahu ia hanya berpura-pura. Jiwon selalu berpura-pura.

“Bagaimana kita tahu Im akan membalas dendam pada kita dengan mengerahkan bantuan para pemburu vampir? Sampai saat itu, aku menolak membahas rencana tindakan,” tegas Dongwook sambil menggebrak meja untuk menegaskan maksudnya.

Chanyeol menghela napas. Mereka sudah dua kali menghadapi situasi seperti itu.

“Dongwook yang baik, seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, kita memiliki sumber yang bisa dipercaya,” ujar Jungsoo.

Gumaman terdengar di penjuru ruangan, dan Chanyeol menatap lemari buku di ruang kerja ayahnya, berusaha sekuat tenaga untuk menghibur dirinya sendiri. Aku penasaran berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca semua buku itu.

Cukup lama, jawab suara di kepalanya.

Chanyeol mengertakkan giginya. Tidak ada yang bertanya kepadamu.

Tapi, kau masih bicara padaku, ejek suara itu, yang selalu bisa mengalahkannya. Suara hati seharusnya tidak boleh mengejek.

Yah, nanti juga kau akan terbiasa setelah menjalani delapan belas tahun yang aneh, jawab Chanyeol dan suara itu terdiam. Tidak pernah ada balasan atas komentarnya itu.

“Yah, kalau begitu menurutku kita bunuh saja putrinya. Dengan begitu, semua masalah kita akan selesai.”

“Tidak, Dongwook. Itu justru akan menimbulkan masalah baru dengan pemerintahan manusia. Kita harus bisa berdiplomasi.”

“Tapi—“

Vampir yang seharusnya Chanyeol tahu namanya menyela. “Maafkan aku, Your Majesty, tapi aku tidak mengerti kenapa kita membahayakan seluruh kerajaan hanya demi satu gadis manusia? Dia tidak cukup berharga untuk membuat kita bertarung melawan pemburu vampir dan menghadapi kemungkinan kehilangan hubungan baik yang sudah kita bina dengan pemerintahan manusia, iya kan?”

Terdengar beberapa gumaman ‘benar, benar’. Chanyeol memperhatikan Kangta lebih pendiam dari biasanya. Pria tua itu bertopang dagu dengan ekspresi serius, tapi segera setelah ia menatapnya, Kangta menoleh ke arahnya dan Chanyeol langsung memalingkan wajah.

“Ini adalah putri dari musuh terbesar yang pernah dihadapi kaum vampir. Kita tidak boleh bertindak gegabah karena itu mungkin bisa memulai sesuatu yang akan kita sesali untuk waktu yang lama,” jelas Jungsoo. Satu fakta krusial itu—siapa Yoona, atau lebih tepatnya, siapa ayahnya—sepertinya masih belum terserap ke dalam tengkorak kepala mereka yang tebal. Jungsoo berbalik ke Kangta. “Belum lama ini, kau berperan sebagai salah satu duta besar kita untuk pemerintahan manusia. Bagaimana pendapatmu?”

Kangta menghela napas. “Posisi pemerintah dan yang lebih penting lagi, Perdana Menteri dalam pemerintahan kita bukanlah termasuk kebijakan intervensi—dengan kata lain, mereka harus menutup mata. Perdana Menteri menolak menemuiku atau Siwon selama kami berada di Westminster, meskipun dia menyakinkan kami bahwa penyelidikan atas kasus Pertumpahan Darah Seoul akan ditutup secara diam-diam, bersama penegasan bahwa ia tidak akan bersikap sepatuh itu jika ada kejadian serupa di masa depan.” Kangta menatap Chanyeol secara langsung. “Tapi yang menjadi masalah kita bukanlah Perdana Menteri. Melainkan Im.” Kangta mencondongkan tubuh ke depan dan menopangkan lengannya di meja, menepiskan rambut hitamnya ke belakang bahu. “Im belum bisa mengambil tindakan. Dia mendapatkan perintah langsung dari Perdana Menteri untuk tidak melakukan apapun yang bisa mengancam keamanan Negara—dia takut usaha apapun untuk menyingkirkan kita akan berakibat pada pembalasan dendam dan hilangnya nyawa orang yang tidak bersalah.”

Sehun, yang terlihat sama bosannya seperti Chanyeol, bangun dan ada nada waspada dalam suaranya saat ia bicara. “Tapi, itu tidak akan terjadi, iya kan?”

Jungsoo menggelengkan kepala.

Kangta melanjutkan, menunjuk ke arah Sehun. “Ah, tapi sebaiknya kita membiarkan mereka berpikir begitu karena dengan begitu Im tidak akan melakukan apapun. Melanggar perintah Perdana Menteri akan menjadi akhir kariernya.”

“Dan tanpa pekerjaan, tidak akan ada kekuasaan,” sela Chanyeol, mengikuti jalan pikiran Kangta.

“Tepat sekali, Pangeran Muda!” seru Kangta, menunjuknya dengan telunjuk kirinya yang bengkok. “Kita harus ingat bahwa Im bukan hanya menginginkan putrinya kembali; dia juga ingin menjadi penyebab kehancuran kita.” itu bukan lagi rahasia. Sejak pemerintahan yang baru mulai berkuasa tiga tahun lalu, Im sudah menegaskan niatnya terhadap mereka dengan sangat jelas. “Tapi Im sangat menyadari bahwa peluru dan pistol tidak akan membantunya mencapai tujuan itu. Jadi dia membutuhkan dukungan para pemburu dan iblis. Tapi, para pemburu tidak akan mau bersekutu dengannya, kecuali dia memiliki kekuasaan, pengaruh, dan uang.”

Atau akses ke uang para pembayar pajak, pikir Chanyeol.

“Perintah Perdana Menteri adalah untuk tidak ikut campur kecuali kita membuat ancaman atau melakukan tindakan kekerasan. Jika kita melakukannya, Im akan siap menghabisi kita.” kesunyian menyelimuti ruangan itu dan membuat suasana di meja terasa sesak. “Kita harus menghindari konfrontasi dalam bentuk apapun. Kita tidak boleh membunuh gadis itu atau memaksanya untuk berubah menjadi vampir, dan kita juga tidak bisa mengancam Im atau pemerintahannya, termasuk juga para pemburu.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” Tanya Dongwook dengan gelisah. Chanyeol yakin hampir semua orang di ruangan itu memiliki pertanyaan yang sama.

“Kita tidak akan melakukan apa-apa dan hanya menunggu sampai gadis itu berubah menjadi vampir atas keinginannya sendiri,” jawab Jungsoo. Terdengar suara tercekat karena syok. Ide tidak melakukan apa-apa bukanlah sesuatu yang biasa terlintas dalam pikiran siapa pun di ruangan itu. Namun, Chanyeol melongo menatap ayahnya karena alasan lain. Jika ayahku berpikir Girly akan berubah menjadi vampir dalam waktu dekat ini, maka ia pasti punya rencana khusus.

“Setuju,” ujar Kangta. “Kita bersikap seperti biasanya dan tidak memberi mereka alasan untuk curiga bahwa kita tahu alasan mereka, dengan begitu mereka juga tidak punya alasan untuk menyerang. Sementara itu, aku sarankan kita menjaga nona Im sebaik dan seketat mungkin—dia tidak perlu tahu tentang dimensi lain dengan adanya rumor Ramalan yang beredar di antara kita. Hal terakhir yang kita butuhkan adalah manusia yang mengetahui kekuatan peramal kita dan Ramalan Heroine. Aku yakin Dewan interdimensional setuju dengan pernyataanku.” Kangta melambaikan tangannya dengan tidak acuh. “Aku juga menyarankan, Your Majesty, bahwa untuk memastikan hidup dan darahnya tidak terancam, sebaiknya Anda memberlakukan program Perlindungan Raja dan Kerajaan atas dirinya.”

Jungsoo mengangguk. “Keputusan itu akan diberlakukan segera.”

“Aku rasa akan lebih bijaksana jika nona Im tidak mengetahuinya, atau mengetahui apapun yang ada hubungannya dengan ayahnya,” tambah Donghae. “Aku mendapatkan kesan dia adalah tipe orang yang akan bertindak gegabah jika sampai mengetahuinya. Kita juga tidak mau memberinya harapan bahwa dia bisa meninggalkan Parkley. Karena jika dia memiliki harapan, maka dia tidak akan pernah mau berubah menjadi vampir.”

Akhirnya, ada orang yang memiliki akal sehat!

Jungsoo berdeham. “Setuju. Semua yang kita bicarakan hari ini tidak boleh keluar ruangan ini. Tapi untuk sementara, pertemuan ini ditunda sampai kita menerima kabar lebih lanjut.”

Chanyeol menghela napas lagi, merasa jengkel. Kursi bergeser, dan orang-orang mulai meninggalkan ruangan sambil membungkuk, dan memberi hormat pada sang Raja. Jiwon mengikuti mereka, dengan penuh semangat berseru bahwa ia akan pergi berbelanja pakaian untuk perayaan titik Musim Gugur Matahari.

“Lain kali cobalah untuk fokus, Chanyeol.” Tegur Jungsoo dari sisi lain ruangan, tempat ia berdiri untuk menunggu Chanyeol bergabung dengannya. Dengan enggan, pria itu berjalan menghampirinya, menunggu ceramah yang pasti akan ia terima.

“Lima jam, Ayah! Lima jam dan satu-satunya hal yang mereka sepakati adalah Yoona harus berubah menjadi vampir atas pilihannya sendiri. Ayah tahu itu tidak akan terjadi, iya kan?”

“Disanalah kau masuk, Pangeran Muda,” sambung Kangta, berjalan menghampiri mereka dengan langkah pincang. Chanyeol mengerutkan kening. Tidak biasanya Kangta pincang. Ia mungkin tua, tapi tidak renta. Rambutnya lebih putih dan garis halus di sekitar matanya tidak menghilang saat ia berhenti tertawa. “Dan kau juga, Earl Muda,” tambah Kangta, merujuk kepada Kris yang sedang menunggu Chanyeol. Kris datang mendekat.

“Kalian berdua berinteraksi dengan nona Im setiap hari, benar kan?” Tanya Jungsoo. Mereka mengangguk.

“Kalau begitu, kalianlah representasi dari apa yang dilihatnya dari kaum kita. Beri dia alasan untuk percaya bahwa kita bukanlah pembunuh karena saat ini itulah yang dia pikirkan. Yakinkan dia bahwa ini adalah kehidupan yang bisa dipilihnya,” jelas Kangta. Kris mengangguk dengan semangat, tapi Chanyeol mengerutkan kening dengan  skeptis.

“Butuh lebih dari itu untuk meyakinkan Yoona agar mau berubah menjadi vampir.”

Kangta tersenyum. “Saat dia kehilangan harapan untuk bisa kembali ke rumah, tidak butuh banyak dorongan untuk meyakinkannya.”

“Aku tidak mau melakukannya.”

Chanyeol melihat mata ayahnya berubah hitam. “Kau akan melakukannya. Sudah waktunya kau memikul tanggung jawab atas tindakanmu…”

“Dan menerima konsekuensi dari petualangan yang gegabah. Iya, aku sudah pernah mendengarnya. Ceramah itu sudah mulai ketinggalan zaman.” Cetus Chanyeol, berbalik samba; meninggalkan ruangan. Pintu terbanting di belakangnya dengan suara benturan yang memuaskan. Namun, tiba-tiba saja pintu itu terbuka lagi dan Kangta muncul, mengejarnya dengan langkah pincang.

“Cobalah dulu,” ujar Kangta sambil menepuk punggungnya. “Kalian berdua mungkin memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kalian pikirkan.”

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa, berjalan pergi sebelum ia benar-benar marah. Namun, Chanyeol tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke balakang, melihat pria yang sudah menua, tapi sama sekali tidak bodoh itu. Pria yang mengamati kepergiannya dengan seringai misterius.

Permainan apa yang sedang kau mainkan, Kangta? Pikir Chanyeol. Apa yang kau ketahui kali ini?

.

.

Pada 28 Agustus, Yoona berulang tahun yang ke delapan belas, dan hanya sedikit sekali alasan untuk merasa senang. Ia terus menjaga pikirannya sejak ia mengaitkan kematian sang Ratu dengan ayahnya, jadi tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ia sudah setahun lebih tua.

Seharusnya, saat ini Yoona sedang berpesta, menikmati momen pertamanya bisa menikmati alkohol secara legal; tapi ia justru terjebak di ruang santai yang penuh dengan vampir, karena sepertinya terjaga menjadi pilihan yang lebih baik dari pada mengambil resiko mengalami mimpi buruk lagi. Mimpi itu seperti tak berujung, dan ia tidak sedikit pun memercayai Kris: mimpi itu nyata. Rasa merinding yang ia alami setiap pagi menegaskannya kepadanya.

Api menyala dengan malas di perapian, kehangatannya membakar kakinya. Tirai merah dan hitam sudah menutupi jendela dan suara tiupan angin bisa terdengar dari luar. Bulan hanya tampak setengah, mengirimkan cahaya redup ke kolam yang ada di tepi halaman.

Yoona menjauh dari jendela setelah mengintip melalui balik tirai, mengamati lebih banyak awal yang menggantung rendah. Ia tidak pernah mengalami bulan Agustus yang seperti itu. Satu demi satu badai seperti mendesak ingin menghancurkan musim panas, dan semua bayangan tentang hari-hari yang hangat sudah dihapuskan sejak lama. Bukan berarti para vampir peduli. Yoona menjatuhkan diri di kursi berlengan yang ada di depan perapian, menjadi satu-satunya orang di ruangan itu yang menyadari betapa pentingnya kehangatan dari perapian.

Yoona mendengarkan saat Sehun, Junhong, Jongin dan Kangjoon bermain poker di sudut ruangan, sesekali terdengar seruan ‘Curang!’ yang memecah kesunyian. Yiahn berbaring di sofa dengan membawa ponselnya, jari-jarinya sibuk mengetuk layar ponsel sambil tersenyum sendiri. Chanyeol duduk di sudut tergelap, tangannya memetik gitar dan pandangan matanya baru teralih jika namanya di panggil.

Yoona menoleh lagi ke perapian, mencari ketenangan dari lidah api yang menjilat perapian. Terpesona, ia menatapnya selama semenit sebelum ia merasakan seseorang mengamatinya. Kris, yang duduk di kursi di seberangnya, menatapnya dengan sorot penasaran, seolah ia sedang berusaha memahami sesuatu.

“Kau tidak menjalani ulang tahun yang menyenangkan, ya?” Tanya Kris, dengan suara pelan.

“Dari mana kau tahu hari ini aku berulang tahun?” pikiranku terjaga dengan baik, kan?

Kris tersenyum, matanya berkilat jahil. “Aku melihat data dirimu secara online.”

Yoona bersandar di kursi, yang seperti menyatu dengan punggungnya. “Karena kau bertanya, tidak, aku tidak menjalani ulang tahun yang menyenangkan.”

Seringaian Kris belum sirna. “Aku rasa aku tahu apa yang akan membuatmu lebih bersemangat.”

Yoona menaikkan sebelah alisnya. “Bukan makan malam, kan?”

Kris tergelak. “Tidak, bukan seperti itu. Beberapa minggu lagi akan ada pesta dansa kerajaan. Manusia boleh datang jika diundang,” jelas Kris. Yoona memicingkan matanya, curiga dengan arah pembicaraan itu. “ Acaranya menyenangkan, akan ada dansa dan musik yang bisa membuatmu lebih ceria; bahkan mungkin kau akan melihat sisi yang berbeda dari kami dan kerajaan ini. Omong-omong, aku ingin tahu apakah kau ingin datang? Mungkin?” Tanya Kris.

Yoona menaikkan alisnya lagi. “Maksudmu datang ke pesta itu denganmu?” tanyanya

“Yah… iya.”

Yoona meringis. “Well, aku sangat sibuk menghindari darahku diisap hingga kering, jadi aku harus memeriksa jadwalku dulu. Tapi jika kau mau, aku bisa memasukkanmu ke jadwalku.”

Seingaian Kris semakin melebar, kemudian ia tertawa, berdiri dan menarik Yoona agar ikut berdiri juga. Empat pemuda berhenti bermain poker untuk mengamati mereka, dan Yiahn mengintip dari atas ponselnya, bibirnya terbuka sedikit karena kaget. Bahkan Chanyeol menoleh dari sudut gelap, mengamati Yoona dengan sorot mata tajam.

“Aku mau.. aku mau..” Kris membungkuk dan meraih tangan Yoona, memberikan ciuman lembut di punggung tangannya. Gadis itu membelalak karena malu. “Aku ingin kau, nona Im Yoona, memberikan kehormatan kepadaku, Lord Kris Yifan Wu, sang Earl of Wu, untuk menemaniku ke pesta dansa.”

Suasana sunyi saat Yoona mencerna tindakan nekat Kris. “Jika memang harus,” jawabnya, sambil memutar bola matanya. Senyuman Kris semakin lebar, dan ia melompat bangun. Yoona menoleh ke yang lain, yang ikut tersenyum lebar, kecuali Chanyeol dan Yiahn yang memasang wajah datar.

Jantung Yoona berdebar-debar sejenak, karena takut, tidak percaya, dan sedikit bersemangat. “Hanya ada satu masalah kecil,” katanya.

“Apa itu?” Tanya Kris.

“Aku tidak bisa berdansa.”

Kris menyeringai, matanya berkilat jahil sekali lagi. “Oh, itu bisa diatur.”

.

.

“Apa maksudmu kau akan mengajariku berdansa?” pekik Yoona, kepalanya menoleh dari satu vampir ke vampir yang lain.

“Persis seperti yang kukatakan. Belajar dansa. Apakah kau mau aku mengejanya untukmu?”

“Aku sangat mampu mengejanya, terima kasih. Lagipula, aku tidak yakin aku jauh lebih cerdas darimu,” jawab Yoona.

“Tentu saja, Girly,” balas Chanyeol, tertawanya melembut menjadi senyuman. “Aku bertahun-tahun lebih tua darimu. Sekarang, ayolah, aku tidak punya waktu sepanjang hari.” Chanyeol menarik siku Yoona, lalu menariknya menyusuri koridor. Yoona menoleh dari atas bahunya, mencari simpati dari Kris dan Kangjoon, tapi keduanya hanya mengangkat bahu dan mengikuti mereka.

Mereka sampai di depan ruang musik, dan saat Yoona melangkah masuk, ia melihat Donghae, Himchan, dan Yiahn berdiri di samping piano besar berwarna hitam yang ditempatkan di tepi lantai berpernis.

“Ini, coba pakai,” ujar Yiahn, melemparkan sepasang sepatu berhak supertinggi dengan warna merah terang pada Yoona, dan karena takut tertusuk oleh haknya yang tinggi dan tajam, Yoona membiarkan sepatu itu terjatuh ke lantai. Yoona menoleh ke mereka, kemudian ke sepatunya yang berhak datar. Namun, ia melihat pelototan Yiahn, dan memutuskan akan lebih baik jika ia menuruti apa yang diinginkannya. Yoona memakainya, tali tipisnya menggores kulitnya. Saat ia berdiri lagi, ia menunduk ke lantai dan menyadari bahwa sekarang jarak ke lantai menjadi jauh lebih tinggi daripada biasanya.

Donghae berjalan kea rah piano dan Kris mencengkeram tangan Yoona, menariknya ke lantai dansa. Yoona terjungkal dan berpegangan kepada Kris untuk mendapatkan keseimbangan. Wajahnya merah padam dan ada ekspresi menyesal tertampang di wajahnya.

“Yoona, apakah sebelumnya kau sudah pernah berdansa selain bersesetan seperti itu?” teriak Donghae dari piano, tempat dia duduk untuk memainkan tuts-tuts piano, sama sekali tidak memperhatikan tangannya tapi tidak ada satu pun nada yang terlewat.

“Bergesekan,” koreksi Yoona, Chanyeol, dan Kris secara bersamaan.

“Yah, apapun sebutannya, itu hanyalah alasan payah untuk berkembang biak di depan umum. Anak muda belakangan ini…” Donghae terdiam, suaranya penuh dengan rasa muak. Dengusan terlontar dari mulut Yoona, dan gadis itu melihat bibir Kris berkedut. “Aku menganggapnya sebagai jawaban tidak, kau belum pernah berdansa sebelumnya. Nah, Yoona, dengarkan baik-baik. Aku guru yang tidak sabaran. Aku tidak akan menunggumu jatuh.” Senyuman Yoona langsung sirna dari wajahnya. “Kita akan mulai dengan langkah awal untuk dansa waltz. Sekarang, berhentilah bermalas-malasan dan bayangkan ada kotak di lantai. Kau akan mulai dari sudut bawah sebelah kiri. Setelah satu ketukan, melangkah maju ke sudut atas sebelah kiri… iya, seperti itu,” ujar Kris saat Yoona melangkah maju. “Pada ketukan kedua, melangkahlah ke sudut atas kanan dengan kaki kananmu, dan pada ketukan yang ketiga kaki kirimu mengikutimu.” Yoona melakukan seperti yang diinstruksikan Kris. “Dan iya, rapatkan kakimu! Bagus. Sekarang, mundur dengan kaki kananmu dan kembalikan kaki kirimu ke posisi awal, diikuti oleh kaki kananmu, dan dengan begitu kau sudah menyelesaikan langkah awal dalam berdansa waltz. Bagus, sekarang cobalah lagi…”

Yoona melakukannya berulang kali, Donghae meneriakkan perintah saat yang lain mengamati dari samping, sesekali mengoreksi langkahnya. Setelah beberapa saat, Donghae meminta Yoona untuk mulai berjinjit, membungkuk, dan berputar, yang membuat kakinya tersangkut dengan satu sama lain, tapi begitu perintah ‘Kotak, ingat kotaknya!’ diteriakan beberapa kali ke arah Yoona, sepertinya mereka cukup puas melihat kemajuan gadis itu dan ia berayun menyapu lantai tanpa masalah.

Tiba-tiba saja, Donghae berhenti memainkan piano. “Aku rasa kau sudah siap untuk mencobanya berpasangan, iya kan? Kris, jika kau tidak keberatan.”

Yoona membeku. Inilah yang ia takutkan. Kris melangkah maju, meraih tangan kanan Yoona dengan tangan kirinya. Kris meletakkan tangan gadis itu yang lain di bawah bahunya, dan tangan Kris melingkari pinggangnya, tepat di atas pinggulnya. Yoona menegang saat Kris menyentuhnya, takut akan kontak fisik di antara mereka.

“Tenang,” gumam Kris, matanya penuh dengan kehangatan. Saat Kris bernapas, Yoona bisa merasakan napas dinginnya meniup rambutnya, dan ia menyadari bahwa mereka berdekatan, sangat dekat—begitu dekatnya hingga ia merona lagi.

“Sekarang, lakukan seperti yang sudah kita pelajari sebelumnya, tapi biarkan Kris membimbingmu,” teriak Donghae, berbalik lagi ke piano. Musik mulai mengalun lagi dan mereka membeku selama sejenak, sebelum Yoona merasakan Kris mendorongnya dengan lembut, kakinya mengikuti kaki gadis itu saat Kris membimbingnya memutari lantai dansa.

“Aku tidak tahu apa yang kau khawatirkan,” ujar Kris sambil tersenyum. “Kau terlihat seperti sudah belajar dansa sejak bisa berjalan, sama seperti kami semua.”

Yoona menaikkan sebelah alisnya. “Kau hanya ingin membuatku merasa lebih baik.”

“Itu tidak benar, aku serius,” balas Kris.

“Aku rasa pelajaran dansa waltz-nya sudah cukup, tapi masih ada banyak jenis dansa lain yang harus kau pelajari. Apakah kau familier dengan dansa akhir abad ke delapan belas?” Tanya Donghae. Mereka berhenti mendadak, dan Yoona sedikit terhuyung, mengandalkan tangan mantap Kris untuk bisa tetap berdiri. Ia menatap Donghae, bingung, dan membisu. Terdengar helaan napas pasrah dari sudut.

“Ah, dansa minuet. Keahlianku,” komentar Himchan sambil melangkah maju.

.

.

Tiga jam kemudian jumlah jenis dansa yang Yoona ketahui sudah jauh lebih banyak daripada jumlah makanan panas yang pernah ia santap seumur hidupnya. Bermacam dansa dari era, hingga membuatnya merasa ia mendapatkan pelajaran sejarah dan bukannya pelajaran berdansa.

“Ingat, dansa yang ini disebut sauteuse. Sekarang kita beralih ke masalah etiket,” jelas Donghae saat Yoona menyelesaikan dansanya yang sebelumnya, merasa lega akhirnya bsia beristirahat; sendi sikunya sudah karatan sehingga gerakan dansa membuatnya terasa kaku dan sakit.

“Etiket?”

“Iya. Etiket adalah tahap yang penting dalam berdansa. Dan berhentilah terlihat terpaksa; sebenarnya langkahnya sangat sederhana,” cetus Donghae, jelas sekali ia tidak senang melihat ekspresi lelah Yoona. “Peraturan pertama: seorang wanita tidak boleh mengajak pria berdansa. Dia harus menunggu sampai diajak. Tidak ada pengecualian.”

“Diskriminatif sekali,” gumam Yoona, berharap bisa segera melepaskan tali sepatu dari kulit pergelangan kakinya.

“Iya, memang diskriminatif,” jawab Donghae. “Peraturan kedua: jika kau ingin menolak ajakan berdansa, lakukan dengan sopan dan malu-malu. Iya, malu-malu, nona Im, sesuatu yang jelas sekali bukan keahlianmu.”

Yoona membuka mulut untuk mendebatnya, tapi Donghae sudah mendahuluinya, yang disambut oleh tawa geli dari sudut tempat Chanyeol berdiri.

“Sekarang, ini bagian yang sangat penting: membungkuk. Sebenarnya sangat sederhana untukmu. Mengingat fakta bahwa kau manusia, kau harus membungkuk pada setiap pasanganmu, baik sebelum maupun sesudah dansa. Bangsawan akan membalas bungkukanmu, sementara keluarga kerajaan tidak.”

Yoona cemberut. Semua aturan membungkuk dan etiket sepertinya hanyalah latihan yang merendahkan dan memalukan, yang sengaja didesain untuk mengingatkannya pada fakta bahwa ia manusia. Namun, saat ia baru saja hendak menyuarakan pikiran itu, senyuman di wajah Kris menghentikannya, membuat lidahnya terikat. Aku tidak boleh mengacaukan ini untuknya, pikirnya. Vampir atau bukan.

“Yang juga sangat penting adalah jika ada anggota keluarga kerajaan menghampirimu, kau harus membungkuk pada mereka. Mengerti?”

Yoona mengangguk. Dalam situasi seperti sekarang, aku terpaksa harus membungkuk sepanjang malam. “Darimana aku bisa tahu seseorang itu anggota keluarga kerajaan? Dan bagaimana jika aku berdansa dengan manusia? Apakah aku juga harus membungkuk pada mereka?”

“Lihat saja emblem di pakaian mereka. Tapi aku ragu kau akan bertemu dengan manusia di pesta dansa nanti. Mereka cenderung menempel dengan orang-orang yang lebih familier.”

Kekecewaan memberati hati Yoona. Salah satu alasan ia bersedia datang ke pesta itu adalah agar ia bisa berbicara, atau setidaknya melihat, manusia lain. Melihat sederetan gigi yang normal terasa bagaikan mimpi untuknya.

“Yang terakhir, pastikan kau tidak pernah sendirian. Meskipun kedengarannya sangat konyol, tindakan itu hanya akan meningkatkan resiko bahaya.”

Yoona menatap kakinya, yang terbungkus sepatu Yiahn. Ia tahu kakinya tidak akan selamat. Namun, ia akan lebih aman berada di pesta dansa daripada sendirian di kamarnya. Merasa sudah puas, Donghae berbalik lagi ke piano.

“Sekarang, sudah waktunya mempraktikan lagi semua pelajaran dansa yang kau terima. Kris, jika kau bersedia…”

Mereka melatih setiap dansa yang sudah Yoona pelajari, para vampir yang berkumpul di ruang dansa mengamati setiap pergerakannya, mengoreksi setiap kesalahan, sampai akhirnya mereka merasa puas.

“Sekarang dansa waltz. Chanyeol, kau yang paling ahli di antara kami; maukah kau yang memimpin dansanya?” Chanyeol melangkah maju, tapi Yoona langsung mundur dengan gelisah.

“Kenapa aku harus berdansa dengannya?” tanyanya, mengamati gerakan Chanyeol saat ia berjalan ke arah dirinya.

“Karena aku harus memastikan kau cukup bagus untuk berdansa dengan anggota keluarga kerajaan, Girly. Aku seorang pangeran, Girly, seorang pangeran,” tegas Chanyeol dengan suara yang menjengkelkan.

“Chanyeol pedansa yang sangat mahir, nyaris sama hebatnya seperti ayah kami,” jelas Donghae dengan bangga. Chanyeol melangkah maju, dan dengan enggan Yoona bergeser mendekat, mata gadis itu tidak pernah lepas dari matanya, saat senyuman jahil tersungging semakin lebar di bibirnya. Namun, Chanyeol berhenti dan menunggu, mundur selangkah saat Yoona mendekat.

“Lakukan dengan benar. Membungkuk,” ujar Chanyeol. Yoona membungkuk, tidak melakukannya dengan ‘benar’, tapi begitu ia mengalihkan matanya darinya, Chanyeol sudah melangkah maju, menarik Yoona ke arahnya. Ia memaksa tangan Yoona bertautan dengan tangannya, sementara ia meletakkan tangannya yang lain sedikit terlalu kuat di pinggang gadis itu.

“Oh, jadi aku ‘mahir’?” ejek Yoona dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh Chanyeol. “Kenapa bukan kau saja yang mengajariku berdansa?”

“Menonton bisa memberimu pemandangan yang lebih baik.” Mata Chanyeol sengaja menunduk ke dada Yoona, dan bibirnya menyeringai. “Atasan yang bagus.”

Yoona mendengus kesal. Musik mulai mengalun, dan hawa dingin menjalar di punggung gadis itu. Mereka mulai berputar, tapi kaki Yoona harus berusaha keras untuk tidak menemukan irama, karena musik itu lebih lambat dan lebih gelap dari dansa waltz yang sebelumnya ia pelajari.

Tiba-tiba saja, mereka saling melepaskan diri dan Chanyeol mendorong Yoona sejauh rentangan tangan. Yoona panik dan menatap Chanyeol dengan bingung.

“Berbalik!” cetus Chanyeol. Yoona berbalik dalam dekapan Chanyeol; saat ia melakukannya, pria itu menariknya ke tubuhnya sampai mereka berdiri dengan dada bersentuhan, salah satu tangan Yoona digenggam oleh tangannya dan diangkat tinggi ke udara, sementara tangan Yoona yang lain melingkari punggungnya.

“Ini bukan bagian dari dansa waltz!’ desis Yoona kepadanya.

“Tidak, memang bukan,” jawab Chanyeol, menatapnya melalui mata yang menggelap. “Tapi aku suka variasi. Biasakan dirimu.” Chanyeol memutar Yoona lagi, dan mereka kembali berpelukan, berayun di lantai dansa sesuai dengan irama musik.

“Tindakanmu ini sangat tidak terhormat.” Yang membuatnya terkejut, Chanyeol tersenyum—dan itu senyuman yang tulus.

“Benar sekali. Tapi kita tidak berada di pesta dansa, jadi tidak masalah.” Pada saat itu, alunan musik mulai berhenti dan mereka menjauh dari satu sama lain, Yoona membungkuk dan Chanyeol berbalik.

“Bagaimana?” Tanya sebuah suara serak. Jantung Yoona berhenti berdetak. Sang Raja muncul entah darimana, berdiri di balik bayangan ruang musik, wajahnya tersembunyi. Yoona membungkuk, sementara Kris dan Kangjoon mengangguk.

“Dia sudah lulus,” jawab Chanyeol. Sang Raja mengangguk dengan ekspresi serius, matanya tidak pernah meninggalkan gadis itu. Yoona berbalik dengan tidak nyaman, dan bisa merasakan tatapannya di punggungnya selama beberapa saat ketika yang lain beranjak pergi. Yiahn berhenti dan Yoona melepaskan sepatu miliknya dari kakinya, menyerahkan lagi sepatu itu kepadanya. Setelah Yiahn pergi, ia berjalan terpincang-pincang ke kursi piano, meringis saat memakai lagi sepatu datarnya.

Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku membiarkan diriku lebih dekat dengan dunia mereka? Setiap hari bayangan pembantaian para pemburu vampir itu semakin memudar, dan Yoona mendapati dirinya berusaha keras untuk mengingat bahwa mereka adalah vampir yang sama dengan yang membunuh para pemburu itu.. vampir yang telah berdansa dengannya.

Yoona bergidik, merasakan hawa dingin menembus hingga ke tulangnya. Permukaan piano yang mengkilap dan dingin seperti mengejeknya, saat pantulan wajahnya yang pucat dan ketakutan balas menatapnya. Bahkan belakangan ini matanya terlihat semakin lelah, dan ia menghela napas. Bukan hanya kenangan tentang pembantaian berdarah di Seoul yang mulai memudar. Harapannya untuk bisa keluar dari Parkley juga ikut memudar.

Kami akan mengeluarkanmu dari sana, Yoona, tapi akan butuh waktu…

Kata-kata perpisahan ayahnya terus menghantuinya. Yoona sangat menantikan saat itu tiba. Namun, berapa lama lagi ia bisa bertahan?

.

.

“Apakah aku sudah boleh melihatnya?” Tanya Yoona, matanya terpejam saat Yiahn membimbingnya ke depan cermin.

“Tidak, belum.” Yoona merasakan tarikan lembut saat Yiahn memuntir sejumput rambutnya sebelum menahannya dengan jepitan. “Baiklah, sekarang kau boleh melihatnya,” kata Yiahn.

Yoona membuka matanya untuk melihat sosok yang asing sedang menatapnya, mata cokelatnya menyala saat membelalak syok.

“Apakah itu aku?”

Yiahn mengangguk, matanya mengamati hasil kreasinya. Yiahn memberi isyarat pada dua orang pelayan agar pergi dari kamar tempat mereka berada, saat Yoona mematut dirinya di depan cermin, hampir tidak percaya bahwa orang yang tampak disana adalah dirinya.

Rambutnya yang cokelat panjang dikeriting bergelombang, dan di biarkan jatuh di bawah bahunya. Poni dan beberapa jumput ikal yang terlepas ditarik ke belakang keningnya, dijepit dengan jepitan kecil berbentuk mawar di salah satu sisi kepalanya. Kulitnya terlihat lebih pucat, dan ia hampir tidak memakai make up, hanya maskara, eye liner, dan sapuan eye shadow gelap. Di sekeliling lehernya, terpasang kalung choker dari bahan renda dengan hiasan berbentuk bunga mawar. Yoona bisa merasakan hiasan itu menekan saluran pernapasannya, saat denyut nadinya yang stabil menekan bahan yang lembut itu.

Namun, gaunnyalah yang memberikan efek perubahan paling jelas. Itu adalah gaun pesta tanpa tali, berwarna cokelat—jelas sekali bukan suatu kebetulan. Garis lehernya berbentuk hati, korset ketatnya membalut pinggangnya dengan sempurna, sementara ribuan manik-manik kaca kecil tersebar di bagian dada dan di sepanjang salah satu sisi gaun. Roknya mengembang dari pinggul dan dihiasi lebih banyak mani-manik sampai ke bagian bawahnya. Yoona rela membunuh demi memiliki gaun seperti itu. Membunuh.

Yoona menatap kulitnya yang pucat sekali lagi. Rona kemerahan adalah sesuatu yang tabu di dunia vampir, jadi ia sama sekali tidak memakai perona pipi—memang ia jadi terlihat seperti orang sakit, tapi sekarang wajahku sama pucatnya seperti vampir.

“Ini, kau akan membutuhkan ini,” ujar Yiahn, menyerahkan sepasang sarung tangan bertabur batu kristal kepadanya. Yoona memakainya dan panjang sarung tangan itu mencapai sikunya. “Jangan pernah melepaskannya,” perintah Yiahn, dan Yoona mengangguk, berbalik untuk melihat Yiahn dengan lebih jelas.

Hilang sudah semburat pink di rambutnya, digantikan oleh warna chesnut gelap. Rambut Yiahn digelung ke atas, dengan beberapa ikal dibiarkan menggantung di seputar wajahnya. Gaun Yiahn berwarna hijau zamrud, bagian belakangnya terbuka hingga ke cekungan tulang punggungnya. Sementara bagian bawah gaun itu jatuh terurai hingga ke lantai. Yiahn hanya memakai sedikit sekali make up—bukan berarti ia membutuhkannya.

Yiahn menarik syal berwarna hijau zamrud ke atas gaunnya, emblem keluarga Park tersulam di sana dengan benang perak. Salah satu pelayan yang tetap berada di kamar melangkah maju, meletakkan mahkota berlian yang sangat mewah dan terlihat luar biasa mahal di atas kepala Yiahn, dan memberikan sepasang sarung tangan yang hampir mirip dengan sarung tangan yang Yoona pakai.

Well, aku rasa aku sudah siap, dan yang pasti kau sudah siap. Harus kukatakan, kau prestasiku yang paling mengesankan,” ujar Yiahn.

“Terima kasih,” gumam Yoona dengan sinis.

“Kau hampir bisa dianggap sebagai vampir,” lanjut Yiahn, saat pelayan tadi memakaikan kalung rantai perak di seputar lehernya. Yoona berbalik lagi ke cermin. Apakah aku terlihat seberbeda ini? Apakah aku benar-benar bisa dianggap sebagai vampir?

Jawabannya adalah tidak. Yoona masih bisa melihat denyut nadi di lehernya, melihat rona alami di pipinya, merasakan detak jantungnya. Ia tidak memiliki keanggunan atau keeleganan vampir, dan ia sangat membenci semua yang mereka lakukan. Dan tentu saja, ia tahu ia pasti berbau seperti manusia.

Kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, dan ketakutan menguasai kepalanya. Yoona bisa mendengar suara alunan musik lembut yang dimainkan di bawah dan suara hentakan kaki para tamu di lantai marmer yang keras. Di luar, ada kesibukan yang terlihat jelas saat mobil-mobil terparkir, kepala pelayan dan petugas parker bergegas menghampiri para tamu untuk menawarkan bantuan. Setiap kali Yoona mendengar suara seseorang sedang berbicara di bawah, perutnya terasa bergolak. Bahkan jam dinding seperti sedang mengejeknya, saat jarumnya merangkak dengan perlahan ke angka dua belas.

“Tadi, kau bilang akan pergi dengan siapa?” Tanya Yoona, ingin menyibukkan pikirannya dengan hal lain.

“Sepupu jauhku. Tentu saja, semua diatur oleh bibiku,” jelas Yiahn dengan nada suara tidak senang. Sepertinya, Yiahn tidak suka karena tidak dibiarkan memilih sendiri pasangan yang akan diajaknya ke pesta.

“Jelek?”

Yiahn menaikkan sebelah alisnya yang berbentuk sempurna. “Apakah kau pernah bertemu vampir yang berwajah jelek?” Yoona menggeleng. “Tepat sekali. Tidak ada vampir yang jelek. Dia hanya memiliki ego besar yang menjengkelkan. Dia akan berdansa denganku satu atau dua kali, lalu menghilang. Kita akan beruntung jika bisa menemukannya lagi malam ini.” Yiahn cemberut, sebelum menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dengan suara pelan.

“Aku rasa kau pasti berharap bisa pergi dengan orang lain, iya kan?” Tanya Yoona dengan tidak acuh.

“Iya. Dan, aku tahu dengan pasti dengan siapa aku ingin pergi,” jawab Yiahn. Mata Yiahn sendu, tetapi mungkin itu hanya trik cahaya karena segera setelahnya Yiahn menegakkan tubuh dan tersenyum. “Siap?”

Saat itu, terdengar suara ketukan di pintu, lalu pelayan bergegas membukanya.

Kris berjalan masuk, mengenakan setelan formal berbuntut panjang warna hitam. Kemeja putihnya membalut perutnya dengan pas, sampai menghilang di balik ikat pinggang warna biru. Rambut Kris lebih rapih dan lebih licin dari biasanya. Ada segitiga berwarna putih yang mengintip keluar dari saku dadanya, dan Kris juga memakai sarung tangan putih.

“Wow,” seru Kris, matanya mengamati Yoona dengan seksama. “Yiahn, kau membuat keajaiban!” Yoona merona, tidak yakin apakah itu harus dianggap sebagai pujian atau justru hinaan.

Mata Yiahn berkilat pink, lalu ia menunduk ke lantai. “Oh, itu bukan apa-apa.” Yoona memperhatikan baik Yiahn maupun Kris tidak pernah memuji pelayan, yang melakukan sebagian besar pekerjaan itu.

Yiahn berjalan menghampiri Yoona dan mencium sebelah pipinya, tetapi sebelumnya ia sempat berbisik, “Jaga dia,” di telinganya, gigi taringnya menekan bibir bawahnya yang bergetar. Mata Yoona mengikuti Yiahn saat ia beranjak ke klosetnya yang berukuran raksasa, ada gumpalan yang tertahan di tenggorokan Yoona. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh itu? Kris-lah yang ingin diajak Yiahn ke pesta. Itu cukup menjelaskan ekspresi wajah Yiahn saat Kris mengajaknya ke pesta. Tapi apakah Kris mengetahuiny?

“Waktunya kita pergi.” Kris tersenyum, menautkan lengan Yoona di lengannya dan tidak member gadis itu waktu untuk memikirkan pertanyaan itu. Kris membawanya keluar kamar dan menuruni tangga, tempat mereka bergabung dengan kerumunan orang yang bergerak ke arah aula dansa. Beberapa kepala menoleh ke arah Yoona dan gadis itu merona, berulang kali darah mengalir ke pipinya. Kris menerima beberapa anggukan dari pria yang terlihat seperti bangsawan—vampir—dan Yoona langsung menegang, terguncang.

“Tenang,” gumam Kris dengan suara pelan. “Kau aman, aku janji.” Yoona mengangguk, tidak yakin, tapi tidak sampai hati mengatakan kepada Kris bahwa sentuhannyalah yang membuatnya tegang.

Akhirnya, mereka melewati pintu dobel yang mengarah ke aula dansa. Samar-samar, Yoona mendengar Kris mengeluh bahwa orang-orang seharusnya tidak berdiri di depan pintu, tapi gadis itu tidak benar-benar mendengarkan. Matanya menatap lurus ke depan.

Sekali lagi, mereka melangkah maju beberapa meter. Yoona takut jika mereka tidak terus bergerak, kakinya akan menjadi kaku dan menolak untuk digerakkan, atau yang lebih buruk lagi, lututnya akan lemas dan membuatnya jatuh terkulai. Jika ia sampai jatuh, Yoona tidak yakin akan bisa bangun lagi—korset gaunnya diikat dengan sangat ketat hingga ia harus menegakkan punggungnya atau merasakan tusukan salah satu kawat korsetnya.

Yoona mendapati jika berjinjit, ia bisa melihat pancaran cahaya dari ribuan lilin hitam yang ada digantungan. Suara oran-orang di aula depan bercampur dengan suara biola dan paduan suara, yang bergema sehingga terdengar seperti ada ribuan suara disana.

Kerumunan akhirnya sedikit berkurang, dan orang-orang yang ada di depan mereka berhasil masuk melewati pintu dobel sehingga mereka bisa masuk ke balkon lebar, tempat Chanyeol sedang berdiri bersama Minha. Kris, yang mungkin menganggap ketegangannya disebabkan oleh perasaan takut, menariknya mendekat.

Mereka melewati ambang pintu menuju aula dansa, dan wanita dengan rambut ikal pirang bergeser ke kiri bersama pasangannya, menuruni salah satu dari dua set tangga menuju lantai dansa. Dengan bergesernya mereka, Yoona bisa melihat aula dansa tanpa terhalang sedikit pun.

Yoona terkesiap.

Ratusan orang berkumpul diruangan yang terang benderang, para wanita mengenakan gaun pesta yang elegan dan para prianya mengenakan setelan formal. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lampu gantung, yang mengirimkan kolam cahaya ke tengah ruangan. Pelayan, yang mengenakan seragam putih, melayani para tamu dengan membawakan gelas berisi cairan yang Yoona yakin bukanlah anggur.

Kepala-kepala menoleh saat mereka memasuki aula dansa, mata dengan berbagai warna yang ada menatap mereka dengan sorot penasaran.

“Apakah itu dia? Manusia itu?”

“Dia tidak terlihat seperti manusia…”

Gumaman semakin banyak terdengar saat ada lebih banyak orang yang berbalik untuk menatap Yoona. Namun, Yoona tidak peduli. Kemana pun ia menatap, yang terlihat hanyalah gaun-gaun mengembang dalam hampir semua warna merah dan marun, hitam dan biru gelap, dan ia mencengkeram pagar balkon tempat mereka berdiri dengan antusias karena khayalan masa kecilnya tentang pesta dansa dongeng kini menjadi kenyataan.

Setiap orang di ruangan ini terlihat sangat gelap, sangat memikat, seperti cahaya lembut yang menyinari wajah mereka yang pucat dan tirus. Mereka tidak sempurna, seperti yang selalu dikisahkan: mereka tidak memiliki cukup moral untuk bisa sempurna. Namun, mereka mendekati sempurna.

“Yoona?” Yoona berbalik untuk melihat Kris menatapnya, tangannya menyentuh lengan gadis itu saat ia mengamati ekspresi wajahnya.

“Ini sangat cantik,” bisikku.

“Sepertimu,” bisik Kris. Senyuman Yoona memudar, dan pandangan matanya tidak fokus karena berusaha menghindari tatapan Kris.

“Aku—“

“Ayolah,” ujar Kris, menarik lengan Yoona ke arah tangga yang ada di sebelah kiri. Mereka menuruni tangga dan mulai membaur dengan kerumunan. Sebagian kerumunan memberi jalan dalam keadaan membisu; sebagian lagi memalingkah wajah dengan muak. Kris membimbingnya, dan menoleh ke sekeliling; kerutan tampak di wajahnya. Ia menggumamkan sesuatu yang tak bisa Yoona dengar, dan tiba-tiba saja ekspresi wajahnya berubah cerah lagi. Kris menggandeng tangan Yoona, lalu mulai menariknya kembali ke kerumunan orang yang berdengung seperti sekawanan lalat.

“Kris, sebenarnya kita mau kemana?” Tanya Yoona, merasakan Kris membawanya ke suatu tempat.

“Menemui orangtuaku.”

“Apa?!” seru Yoona. Ekspresi wajahnya pasti terlihat panik karena Kris menatapnya dengan sorot ‘bersikaplah masuk akal’. Yoona menolak melangkah dan melontarkan protes sampai akhirnya Kris menyerah.

“Kalau begitu, nanti saja,” ujar Kris di tengah-tengah suara orchestra yang ada disisi terjauh aula dansa. Alunan musik yang lembut dan menenangkan sudah hilang. Berganti dengan alunan biola yang mengalunkan lagu paling mengerikan yang pernah ia dengar.

Terdengar suara drum, dan diikuti oleh suara gesekan biola lagi. Nadanya memilukan dan melengking yang bergema di penjuru ruangan.

Kerumunan terbelah, menciptakan jalur dari pintu menuju singgasana yang ada di ujung ruangan. Bulu kuduk Yoona berdiri, saat suara paduan suara mengiringi alunan musik tadi.

Darah Yoona membeku.

“Apa yang terjadi?” gumam Yoona kepada Kris, sangat menyadari vampir-vampir di seberang mereka yang sedang menatapnya. Apapun yang terjadi, ia tidak menyukainya, seperti ada roh tak diundang yang mengambil alih tubuhnya, membuat tubuhnya gemetar, perutnya bergolak, dan kakinya lemas.

“Keluarga Park tiba.” Hanya itu jawaban yang ia terima.

Antusiasme menyebar di antara kerumunan saat mereka menunggu dengan tidak sabar, hingga membuat ruangan itu seperti bergejolak oleh air multiwarna yang bergerak. Terpikir oleh Yoona bahwa mungkin sebagian besar orang disini jarang sekali bertemu dengan penguasa mereka, dan mungkin itulah yang membuat kedatangan keluarga kerajaan begitu dinantikan. Sementara aku harus memikirkan makian baru untuk dilontarkan pada sang pangeran setiap hari. Beruntungnya aku.

Angin lembut menggoyangkan rambut dan gaun Yoona, mengelitik kulitnya. Jauh di atas mereka, lilin berdiri tegak ditempatnya. Ruangan seperti berubah dari terang menjadi gelap dan menjadi terang lagi saat kilau cahaya lampu kembali.

Lari! Terisak suara di kepala Yoona.

Tenggorokan Yoona tercekat, kulitnya merinding saat kepanikan mulai menyerangnya. Ia tidak punya kuasa untuk pergi, tidak punya kekuatan untuk menghentikan hasrat yang tidak rasional ini, keinginan yang tidak rasional ini untuk menatap mereka—, para predator yang berniat menghancurkan kaumnya.

Larilah dari para mawar beracun itu!

Napas Yoona terputus-putus, tidak ada cukup oksigen yang sampai ke kepalanya. Tangannya tergelitik, dan ia merasakan sesuatu yang dingin dari balik sarung tangan yang ia pakai. Tekanan lembut. Yoona menunduk untuk melihat tangan Kris yang terbungkus sarung tangan menggenggam tangannya, memeganginya seolah ia akan terbang setiap saat.

“Tetaplah bernapas; sebentar lagi pasti akan berlalu,” ujar Kris sambil berbisik. Yoona mengangguk lemah, pandangannya mulai kabur.

Lari sebelum terlambat! Lari sekarang!

Musik semakin kencang dan keras, memenuhi telinganya, membuat jantungnya berdetak tak terkendali.

Lari atau angkat wajahmu ke arah singgasana!

Lilin-lilin mati sepenuhnya, angin kencang berhembus ke aula dansa saat pintu besar terbuka. Keluarga Park. Sang Raja menuruni tangga dalam kegelapan total—kegelapan yang langsung berubah menjadi cahaya terang benderang saat sang Raja menjentikkan jarinya. Mahkota besar bertengger di puncak kepala sang Raja, terbuat dari besi yang kelihatan seperti cair, lentur mengikuti pergerakan sang Raja, dengan hiasan batu zamrud yang berkilauan. Di atas batu zamrud itu, terdapat empat titik yang terbuat dari kaca, dan di dalamnya terdapat cairan merah.

Lari, atau kau akan menjadi satu dengan darah mereka.

Napas Yoona tertahan dan perutnya terasa mual, tenggorokannya tercekat. Pandangannya kabur dan ruangan terasa berputar. Yoona mencengkeram dadanya, rusuknya terasa seperti diremukkan, mencengkeram jantungnya yang memang sudah berdetak tak beratur.

Anggota keluarga yang lain mengikuti, dan ia bisa melihat aura sesungguhnya dari keluarga kerajaan vampir. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, mungkin lebih, semuanya memakai syal berwarna hitam atau hijau zamrud di bahu mereka, pasangan mereka masing-masing menggandeng lengan mereka dengan mata tertunduk. Chanyeol mengikuti persis di belakang ayahnya, Jiwon menggandeng erat tangannya.

Semua orang membungkuk hormat. Yoona juga melakukannya begitu sang Raja melewati mereka, menundukkan kepalanya dengan sangat rendah, sementara tangannya masih berada dalam genggaman tangan Kris. Namun, saat ia menegakkan tubuhnya lagi, kakinya mulai terasa lemas, dan sesuatu yang jahat, sesuatu yang bukan berasal dari pikirannya sendiri, muncul di dalam kepalanya, bergema dan bergemuruh dengan keras.

Jauhkan dirimu, anak manusia. Kau tidak berharga. Matilah sebelum malaikat kematian menjemputmu. Matilah, Nak. Matilah sebelum terlambat.

Kelopak mata Yoona tertunduk, lututnya melemas, dan ia terjatuh ke lantai, siap untuk menyerah.

Lari dari dosanya!

Tiba-tiba saja kelopak matanya terbuka, dan ia diangkat hingga berdiri tegak. Ada tangan yang menggenggam tangannya dan memberikan kenyamanan. Sepasang mata biru yang menatapnya dengan sorot khawatir.

“Yoona?”

Yoona mencengkeram dadanya dengan tangannya yang bebas, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kegelapan yang menyelimutinya, untuk bisa bebas dari cengkeraman yang menyesakkan. Chanyeol berjalan melewatinya, matanya beralih untuk bertemu pandang dengan mata Yoona. Kecemasan terlintas di wajahnya, sebelum kepalanya menoleh ke depan lagi. Kepala Yoona tertunduk lemas. Anggota keluarga yang lain sudah sampai di depan singgasana, membentuk barisan yang menghadap ke arah rakyat mereka. Sang Raja berjalan ke singgasananya, lalu berbalik menghadap ke arah mereka semua/

Semua jam yang tergantung di dinding bergerak ke angka dua belas, menandakan waktu tengah malam. Terdengar dentingan lonceng dua belas kali, setiap dentingannya membuat darah Yoona berubah menjadi es.

Waktu tidak akan abadi selamanya, Im Yoona. Waktumu semakin habis.

“Selamat datang, Tuan dan Nyonya, ke pesta perayaan titik Musim Gugur Matahari.”

Lari!

.

.

Tatapan sang Raja terkunci dengan tatapan Yoona dan ada ekspresi keraguan di wajahnya sebelum ia kembali menatap rakyatnya seolah mereka adalah pion yang harus digerakkan di atas papan catur. Setelah merasa puas, sang Raja duduk di atas singgasananya, dengan tidak acuh melambaikan tangan kepada para pelayan, yang langsung menghilang ke samping ruangan.

“Yoona! Bernapas!”

Panik, Yoona menyadari tidak ada oksigen di dalam paru-parunya, dadanya terasa seperti terbakar, menuntut oksigen.

“Aku tidak bisa,” bisik Yoona dengan suara serak.

“Kau bisa,” desak Kris sambil mencengkeram bahunya. “Cobalah untuk konsentrasi.”

Yoona memejamkan mata, memfokuskan perhatiannya pada gerakan naik-turun dadanya. Setelah semenit, cengkeraman di lehernya lenyap dan ia bisa menarik napas bergetar. Kegelapan menghilang, pikirannya bisa kembali jernih. Pandangan matanya jelas, ruangan kembali normal dan tidak lagi berputar. Yoona diam tak bergerak, menarik napas selama sekitar satu menit, sebelum akhirnya ia bisa memulihkan diri.

“Apa yang baru saja terjadi?” tanyanya dengan suara lemah.

“Jangan khawatir. Itu bukan apa-apa,” gumam Kris, tapi ia menghindari mata gadis itu.

“Omong kosong!”

“Pelankan suaramu,” desis Kris.

Dengan getir, Yoona memelankan suaranya. “Katakan kepadaku, Kris! Aku berhak mengetahuinya! Dan jelas sekali kau sudah tahu hal semacam ini akan terjadi, lalu kenapa kau masih mengundangku?” desis Yoona, mencondongkan tubuh ke arahnya.

Kris menghela napas. “Aku mengundangmu karena aku ingin ditemani olehmu, dan ingin kau bersenang-senang. Aku tidak mengatakan ini kepadamu karena aku pikir kau akan ketakutan.”

“Dan apa ‘ini’?” kali ini, nada suara Yoona tidak terdengar terlalu menuntut. Kris ingin aku bersenang-senang.

“Mahkota sang Raja.” Kris menunjuk ke arah mahkota yang dimaksud. “Berisi darah yang dikutuk. Jika ada manusia yang melihatnya, mereka akan terpengaruh seperti yang tadi kau alami. Darah yang dikutuk itu digunakan zaman dulu saat masih ada prosesi persembahan manusia. Tapi, sekarang itu hanya sekedar simbolik,” tambah Kris, yang melihat ekspresi wajah gadis itu saat mendengar kata “persembahan manusia”.

Suara dan kegelapan mungkin sudah lenyap, tetapi pesannya tidak. Mahkota itu membuatku ingin mati. “Apakah aku akan terpengaruh lagi malam ini?”

“Tidak. Pengaruh mahkota itu hanya muncul sekali.”

Namun, sekarang kerumunan orang sudah membentuk lingkaran besar dengan dinding manusia. Mahkota sudah tidak lagi bertengger di kepala sang Raja saat ia berjalan ke tengah-tengah lingkaran, dan seketika itu juga kemeriahan pesta kembali terasa ketika lilin-lilin menyala dengan lebih terang.

Alunan biola kembali terdengar, dan hanya dalam sekejap mata, keluarga Park yang tadi hanya berdiri saja kini sudah beranjak untuk berdansa. Mereka membungkuk rendah sebelum membawa pasangan masing-masing ke lantai dansa.

“Tunggu sampai aku membawamu ke lantai dansa, baru kau boleh bergerak,” kata Kris dengan gumaman pelan.

Keluarga Park mulai berdansa, bergerak dengan anggun di lantai dansa seolah mereka menyatu dengan musik, langkah mereka tak bercela, disempurnakan oleh latihan selama ribuan tahun. Yoona mengamati dengan takjub saat Chanyeol dan Jiwon seperti melebur menjadi satu, gaun elegan Jiwon mengambang di sekitar pergelangan kaki Chanyeol saat wanita itu berputar, menyatu dengan Chanyeol. Satu-satunya petunjuk bahwa gaun itu bukan bagian dari tubuh Jiwon adalah belahan di bagian samping, sampai ke tengah paha wanita itu.

Senyuman hampir tersungging di bibir Yoona saat Chanyeol melewati mereka, terlihat sangat bosan. Chanyeol memakai setelan kebesarannya, berupa jaket militer ketat berwarna hitam dengan ikat pinggang perak. Beberapa medali tergantung di saku dadanya, di bawahnya terdapat saputangan warna hijau zamrud yang diselipkan ke dalam saku. Chanyeol juga memakai syal warna hijau zamrud, hampir sama dengan yang dipakai Yiahn; syal itu bersulamkan lambang kerajaan, membuktikan kemurnian darahnya.

Alunan musiknya berubah cepat dan Yoona terkesiap, saat secara bersamaan, keluarga Park berputar, mengubah arah mereka sepenuhnya. Paduan suara mulai bernyanyi, seluruh ruangan dipenuhi gema suara mereka. Lilin-lilin bergoyang, menerangi setiap orang yang berdansa dengan cahaya lembut. Setiap ketakutan atau terror sudah lama hilang, terlupakan oleh kemegahan pesta.

Seringaian lebar tersungging di bibir Yoona. Inilah yang diimpikan oleh setiap gadis, tapi tidak mungkin bisa mereka alami.

“Sudah waktunya.” Kini musik mengalun dengan lembut, dan Kris membalas seringaiannya. Yoona meletakkan tangannya di lengan Kris, dan pria itu membimbingnya ke lantai dansa. Mereka melewati pasangan lain, saat ratusan, jika bukan ribuan vampir bergerak ke lantai dansa, mengelilingi anggota keluarga Park yang berada di tengah-tengah. Entah bagaimana mereka berhasil sampai ke tengah lantai dansa, lalu Yoona menoleh ke sekeliling untuk melihat banyak wajah yang familier—Sehun yang berpose sempurna dengan pasangannya yang juga masih muda, Henry bersama gadis yang tidak ia kenal, Kangta berdiri di samping seorang wania tua.

“Membungkuk,” gumam Kris kepada Yoona, dan semua orang membungkuk secara bersamaan.

Mereka bersiap, dan musik mulai mengalun indah…

Mereka berdansa, berayun, berputar, di sekeliling lantai dansa, berbaur dengan pasangan lain, gaun pesta mengembang, dan musik terus mengalun. Yoona memejamkan mata, berusaha untuk mengingat setiap detail, adegan saat ini seperti tercetak di kelopak matanya yang gelap. Senyumannya memudar, teringat sesuatu yang pernah dikatakan sang Raja berminggu-minggu sebelumnya.

“Kebencianmu akan berubah saat kau mulai terbiasa dengan cara kami, yang pasti akan terjadi dalam waktu dekat ini. Dan hanya waktu yang kau miliki, nona Im…”

Perlahan, Yoona membuka matanya untuk melihat Kris menatapnya, ada senyuman misterius yang tersungging di bibirnya. Mata Kris berwarna biru paling jernih yang pernah ia lihat, hingga bisa membuat langit merasa malu, membuat gelombang laut merasa gelisah saat mereka mengakui kekalahan mereka dari warna sesempurna itu.

Murahan sekali, gumam suara di dalam kepalanya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang berpikir betapa mengagumkannya pesta ini,” sangkal Yoona. “Seluruh pesta dansa ini. Sungguh luar biasa. Semua orang-orang ini… aku merasa seperti Cinderella.” Yoona tertawa, tidak yakin harus mengatakan apa. Yang membuatnya lega, Kris ikut tertawa.

“Ini belum seberapa. Kau harus melihat sebagian pesta dansa yang diselenggarakan menjelang akhir tahun,” kata Kris.

Mereka berhenti berputar saat musik berubah menjadi alunan yang lebih sendu dan melankolis. Dalam hitungan detik, mereka sudah berdansa lagi, kali ini dengan lebih lambat, dan Yoona terpaksa harus berkonsentrasi dengan langkahnya selama beberapa menit.

Mata Yoona mulai berkelana, mengamati pemandangan di sekitarnya. Yiahn melewatinya, pasangannya, seorang vampir yang sangat menarik dan terlihat seperti remaja, hanya memfokuskan pandangan matanya ke dada Yiahn. Sepertinya pria itu menyukai apa yang dilihatnya. Yoona merona merah saat bertemu pandang dengan Yiahn. Yoona menyukai Kris—untuk kalangan vampir, ia merupakan vampir terbaik yang ia kenal—tetapi Yiahn menyukai Kris dengan cara yang berbeda. Dan Yiahn selalu bersikap baik kepadanya selama ia berada di sana—ia tidak mau merusak hubungan baik itu.

Sang Raja berdansa di tengah-tengah lantai dansa bersama seorang vampir yang sangat cantik. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat terang tergerai lurus sampai ke pinggang. Rahangnya yang persegi menampakkan garis terkontrol, tidak peduli dengan semua hal yang ada disekitarnya, termasuk sang Raja. Sang Raja pun menampakkan ketidakpedulian yang sama, hampir tidak pernah menatap wanita yang sedang berdansa dengannya.

Matanya terus berkelana. Yoona melihat Donghae dan Irene, yang pada saat itu berputar melewati mereka. Mereka menatap ke dalam mata satu sama lain, seolah hanya ada mereka di ruangan itu. Yoona mengalihkan matanya, merasa tidak nyaman oleh keintiman mereka. Ia merasa seolah ia sudah mengusik momen mereka. Tiba-tiba saja, ada pikiran lain yang terlintas dalam kepalanya.

Seharusnya, seperti inilah Yiahn dan Kris.

Yoona menolak ajakan dansa yang ketiga dari Kris, dengan alasan ia merasa haus dan pergi untuk mengambil air.

.

.

Yoona berjalan ke meja hidangan untuk mengambil segelas air. Ia menenggaknya sampai habis, memejamkan matanya saat cairan dingin itu mengalir di tenggorokannya. Ia tidak banyak berdansa setelah dansa yang kedua itu, lebih memilih untuk duduk di dekat meja bersama minumannya, merasa gelisah oleh tatapan penuh nafsu yang diarahkan kepadanya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mengobrol dengan vampir yang ia kenal, menempel pada mereka sampai mereka pergi berdansa. Kris sudah menghilang sejak lama, berdansa dengan hampir semua vampir wanita muda yang hadir. Namun, Yoona selalu mendapatkan perhatian darinya meskipun Yoona sudah mengucilkan diri ke sudut ruangan karena setiap beberapa menit, mata Kris akan mencari-cari di sekeliling ruangan sampai menemukannya, memastikan gadis itu baik-baik saja.

Yoona sering melihat Chanyeol dan Donghae menoleh ke arahnya juga, memeriksa apakah ia masih ada disana, apakah ia masih hidup. Setiap kali ia berbalik, Kangta atau Irene akan memunggungiku, berpura-pura sedang berbicara serius, padahal Yoona tahu bahwa sebenarnya perhatian mereka difokuskan kepadanya. Setiap kali ada vampir tak dikenal mendekatinya, salah satu anggota keluarga Park akan muncul secara tiba-tiba, memulai percakapan dan membawa vampir asing itu pergi dari dekatnya. Yoona melihat beberapa orang manusia di antara para tamu, tetapi mereka juga hanya berkumpul dengan sesama manusia, mengusir siapapun yang tidak mereka kenal.

Sekelompok remaja paduan suara mulai bernyanyi, suara merdu mereka memenuhi ruangan. Yoona mengamati mereka selama sejenak. Mereka masih sangat muda, sebagian bahkan belum berusia sepuluh tahun. Wajah manis mereka tidak ternoda oleh kengerian hidup, mulut mereka terbuka untuk mengeluarkan suara-suara malaikat. Taring kecil mereka tampak, dan Yoona tersentak. Bagaimana mungkin sesuatu yang semurni malaikat bisa menjadi sangat berbahaya? Anak-anak itu akan tumbuh besar menjadi monster, lalu akan membunuh saat mereka sudah lebih dewasa.

“Pemandangan yang indah, iya kan, nona Im?”

Yoona terlonjak dan langsung berbalik untuk melihat seorang vampir muda berdiri disana, dengan mata biru yang paling dalam dan senyuman yang paling memikat.

“Kyuhyun, kau membuatku takut,” kata Yoona dengan gugup, merasakan adrenalin berpacu di dadanya.

“Aku benar-benar minta maat; aku tidak bermaksud membuatmu terkejut.”

Yoona menepiskan permintaan maafnya. “Tidak masalah, memang seharusnya aku tidak melamun.”

“Seharusnya, kau tidak datang kesini, nona Im. Kau tidak akan pernah aman berada di sekitar vampir, kau cukup cerdas untuk mengetahuinya, kan? Tapi sepertinya kau terlalu meremehkan bahaya yang mungkin muncul malam ini.”

Suara-suara bocah paduan suara itu menjadi tinggi dan melengking, mengisi setiap lengkungan langit-langit. Yoona menganggukkan kepalanya dengan salah tingkah.

“Berada disini, nona Im, di antara begitu banyak vampir yang haus, yang sebagian di antaranya sudah tidak minum selama berhari-hari karena harus menempuh perjalanan yang panjang, yah… aku rasa seharusnya sang Raja bisa berpikir dengan lebih jernih daripada ini. Tapi, tidak masalah, kau aman di antara sebagian vampir, dan aku menganggap diriku sebagai salah satu di antaranya.” Kyuhyun menyunggingkan senyuman mautnya, dan Yoona merasakan jantungnya berdebar-debar. Chanyeol seharusnya meniru pesona Kyuhyun. “Boleh aku mengajakmu berdansa, nona Im? Mungkin pada lagu yang berikutnya?” lanjut Kyuhyun, meraih tangan Yoona dan membunkuk rendah.

“Tentu saja.” Kyuhyun menggandeng tangan Yoona dan membawanya ke tengah lantai dansa, tempat orang-orang sedang berdansa dengan diiringi alunan musik ornamental yang sangat lambat. Samar-samar, ia mengenalinya dari salah satu kursus kilatnya dan mulai berputar, melihat bahwa gadis-gadis yang lain juga melakukan hal yang sama.

Saat berhadapan lagi dengan Kyuhyun, pria itu meletakkan tangannya yang dingin di pipi Yoona, menangkupkan kepalanya sampai gadis itu menatapnya. Yoona mengalihkan matanya, merasa tidak nyaman oleh tatapannya yang terlalu fokus. Ia menatap dada Kyuhyun dan menyadari ia memakai kemeja berwarna merah gelap, dan di lehernya tergantung kalung berliontin botol kecil yang kelihatannya berisi darah.

“Jangan malu-malu, nona Im. Aku tahu kau menganggap pesona kami sulit untuk diabaikan, pesona yang sangat kau benci. Tapi, ini bukan sesuatu yang patut dibenci, melainkan sesuatu yang harus diterima sebagai pemberian alam.”

Yoona mengangguk pelan, merasa malu saat menyadari bahwa perkataan Kyuhyun mungkin ada benarnya.

“Tidak masalah. Jangan biarkan aku membuatmu sedih. Ayo, kita ganti topik pembicaraannya. Aku sudah mendengar banyak hal tentang dirimu, Yoona sayang, tapi kau tidak pernah bertanya-tanya tentang kami. Apakah kau tidak mau mengajukan pertanyaan kepadaku?”

Yoona berpikir sejenak. “Darimana kau berasal? Maksudku, asal keluargamu.”

“Keluargaku.” Kyuhyun tergelak. “Kau memilih tema yang sangat luas. Aku berasal dari Rumania meskipun keluargaku memiliki rumah di seluruh dunia, seperti halnya semua keluarga berpengaruh.” Serigaian tersungging di bibir Kyuhyun. “Kami satu dari sedikit keluarga yang tidak melarikan diri saat pemburu vampir mengambil alih Rumania berabad-abad lalu.” Kebanggaan terdengar jelas dalam suara Kyuhyun, meskipun Yoona tidak menganggap cerita itu terlalu mengesankan. Donghae dan Himchan juga tinggal di Rumania.

Tiba-tiba saja, Kyuhyun berbalik dengan ekspresi masam. “Oh, Your Highness, maafkan aku, aku pikir kau orang lain,” ujar Kyuhyun sambil membungkuk rendah. Ada kesopanan yang dipaksakan dalam suaranya.

“Aku ingin berdansa dengan Yoona,” tegas Chanyeol. Dengan enggan, Kyuhyun melepaskan gadis itu.

“Tentu saja, Your Highness.” Kyuhyun membungkuk lagi dan pergi, menghilang di balik kerumunan orang.

“Untuk apa kau bersikap sekasar itu?!” desis Yoona, memberikan tatapan tajam kepada sang Pangeran, yang matanya terfokus ke tempat Kyuhyun pergi. Yoona melangkah maju, tapi Chanyeol justru mundur selangkah.

“Membungkuk,” gumam Chanyeol. Yoona membungkuk serendah mungkin, tidak pernah mengalihkan matanya darinya. Ia tidak menyambut uluran tangannya saat ia berputar lagi.

“Aku sudah bilang kepadamu untuk menjauh darinya!” tegur Chanyeol, berbicara kepada Yoona seolah ia anak kecil.

“Aku tahu itu. Tapi aku bukan anak kecil atau pun vampir, jadi kau tidak punya kendali atau hak untuk mengatakan kepadaku apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan. Aku akan membuat penilaian sendiri tentang setiap orang yang kutemui, terima kasih banyak.” Yoona berbalik hendak pergi, tapi Chanyeol mencengkeram pergelangan tangannya. Kuku jarinya menusuk kulit gadis itu, seperti yang terjadi saat malam pertama mereka bertemu.

“Jangan berpaling dariku. Tidak ada seorang pun yang pernah menolak ajakan pewaris kerajaan ini.” Chanyeol melototkan mata kepadanya, kekuatan yang Chanyeol tahu dimilikinya memancar dengan kuat, saat mata-mata kagum para wanita dan gadis muda terarah padanya.

“Aku bisa menolakmu,” bisik Yoona, meninggalkan Chanyeol dan lantai dansa.

.

.

“Aku bisa menolakmu,” bisik Yoona, dan setelah mengatakan itu, ia beranjak pergi. Chanyeol memicingkan matanya, mengamati sapuan gaun berwarna cokelat menghilang di antara kerumunan.

“Sialan,” gumamnya, memasukkan tangan ke saku celana. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita yang begitu menjengkelkan, apalagi manusia. Namun, Chanyeol punya banyak pengalaman dengan wanita menjengkelkan untuk tahu bahwa ia harus membiarkannya berpikir ia bisa lolos sementara ini.

Chanyeol justru berjalan menyeruak kerumunan, menikmati perhatian yang disebabkan oleh gelar dan ketampanannya, sampai aroma hair spray yang menyengat mulai membuatnya tersedak, dan rambut yang dicat pirang tertangkap oleh matanya. Tidur dengan Jiwon memang menyenangkan, tetapi berdansa dengannya baru bisa tertahan jika ia memakai sepatu berujung besi; sedangkan menghabiskan waktu bersamanya saat ia merasa terpaksa, sungguh menjadi pengalaman yang traumatic.

Ia berjalan ke bilik tempat Kris dan yang lain sedang mengobrol, dan merasa jauh lebih puas saat melihat gadis berambut ikal warna cokelat gelap ada di antara mereka. Perasaan puas itu langsung berubah menjadi keterkejutan saat menyadari bahwa Yoona-lah yang mengarahkan obrolan tersebut.

“Aku penasaran. Bagaimana cara vampir menghidupkan acara pesta?” ujar Yoona menjawab pertanyaan Kris.

Chanyeol melihat kesempatan dan memanfaatkannya. “Boleh aku mengajakmu berdansa, gadis yang penasaran? Aku bisa menunjukkan kepadamu caranya.” Chanyeol menunduk, lalu mencium punggung tangan Yoona. Gadis itu salah tingkah, dan ia senang melihat getaran yang merambat di sepanjang lengannya, senang melihat Yoona bereaksi seperti gadis lain dalam situasi seperti itu.

Yoona bisa dengan cepat pulih dari keterkejutannya. “Baiklah,” cetusnya, dengan sentakan kepala. “Tapi jika kau berani menceramahiku, aku akan menginjak kakimu.” Ia membalas tatapan Chanyeol setegas yang akan dilakukannya jika ancamannya bukanlah sekedar gertak sambal, dan pria itu mengunci tatapannya. Chanyeol tidak akan mengubah pandangannya terhadap Cho Kyuhyun. Kyuhyun bukanlah teman keluarganya, dan Chanyeol sama sekali tidak ragu bahwa Kyuhyun memiliki hubungan dengan sejumlah klan pembasmi vampir. Belum lagi fakta bahwa Kyuhyun dikenal sebagai…. Chanyeol mendengus.

Namun, meminta Yoona untuk menyerah dan berhenti bersikap keras kepala sama sulitnya seperti meyakinkannya bahwa langit berwarna hijau. “Baiklah,” kata Chanyeol, dengan sama ketusnya.

Yoona menarik tangannya dari genggaman Chanyeol, dan pria itu mendapati Kris mengerutkan kening kepadanya. Chanyeol memutar bola mata sambil menggelengkan kepala, dan Yoona melihatnya.

“Yiahn!” Yoona menarik tangan kakak perempuan Chanyeol dengan sama bersemangatnya seperti saat Chanyeol mengambil kesempatan untuk mengajaknya berdansa. “Kau berdansa dengan Kris.” Yoona menyatukan tangan Kris dan Yiahn, lalu pergi sebelum mereka sempat protes.

Chanyeol bergegas mengejar Yoona. “Girly, kau mak comblang kecil!”

“Kau juga tahu?”

“Yiahn kakakku.”

Sepertinya, Yoona kecewa karena tidak menjadi satu-satunya orang yang tahu tentang ketertarikan obsesif Yiahn kepada Kris, dan Yoona tidak mengatakan apa-apa saat membungkuk dan menatap ke atas bahu Chanyeol. Gadis itu tersenyum dan saat Chanyeol menoleh ke belakang, jelas terlihat bahwa pemandangan Yiahn yang berada dalam dekapan Kris-lah yang menjadi sumber kebahagiaan Yoona. Namun, Kris adalah teman terbaik dan terlama yang Chanyeol miliki, dan ia cukup mengenalnya untuk tahu bahwa Kris berdansa dengan kakak perempuannya karena terpaksa.

“Ini sedikit terlalu beresiko untuk para tetua,” jelas Chanyeol saat memutari Yoona. Ia sudah melewatkan dansa waltz yang lebih tradisional di awal acara pesta. Meskipun Chanyeol berpikir kecintaan Yiahn terhadap pakaian vampir sama fanatiknya seperti perasaannya terhadap Kris, Chanyeol tidak bisa menyangkal bahwa Yiahn berhasil mengubah penampilan Yoona.

Yoona mengamati Chanyeol dengan gelisah, menjulurkan lehernya sejauh mungkin. “Aku minta maaf soal—“

Chanyeol menyela sebelum Yoona bisa menyelesaikan kalimatnya. “Maaf aku telah menceramahiku dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.” Mata Yoona dipicingkan, dan di wajah gadis itu Chanyeol bisa melihat apa yang pasti tergambar di wajahnya sendiri: permintaan maaf? Chanyeol memalingkan wajah sebelum Yoona bisa melihat keterkejutan dalam ekspresi wajahnya.

Kemana pun Chanyeol menoleh, ia melihat senyuman gembira, tawa riang, dan vampir-vampir  yang masih muda mendekap pasangannya dengan sedikit terlalu dekat daripada yang “seharusnya”. Tangan-tangan membelai leher dan bahu; dari luar tindakan itu terlihat biasa, tapi tatapan mata mereka mengatakan kepadanya bahwa kenyataannya tidaklah begitu. Dan Chanyeol berniat menunjukkan kepada Yoona kenapa begitu.

“Apakah kau sudah siap?” Chanyeol menyeringai dan meletakkan tangannya di pinggang Yoona, mengeratkan cengkeraman jari-jarinya di korset gaunnya.

“Untuk apa?” Yoona terlihat benar-benar gelisah.

“Untuk ini.” Musik berhenti, dan bersamaan dengan itu Chanyeol mengangkat Yoona ke udara; gadis itu memekik dan secara otomatis mencari bahunya, memaksa Chanyeol menghirup aroma parfum yang disemprotkan ke pergelangan tangannya, yang ia kenali sebagai parfum Yiahn, dan hirupan yang kedua membuat tenggorokannya terbakar. Saat ini, Yoona mungkin terlihat seperti vampir, tapi gadis itu masih berbau seperti makan malam.

Chanyeol menurunkan Yoona sedikit terlalu cepat, dan segera setelah sepatu dansanya menyentuh lantai, gadis itu langsung mengamuk.

“Lain kali, sedikit peringatan akan lebih baik!’ setelah mengatakan itu, Yoona melangkah maju dan bukannya mundur, lalu mengentakkan hak sepatu dansanya ke jari kaki Chanyeol.

Chanyeol membiarkan matanya terpejam sebentar. “Apakah kau menyadari bahwa itu sama sekali tidak menyakitiku?”

“Apakah kau menyadari bahwa kau sangat keterlaluan?”

“Kalau begitu, kita memiliki perasaan yang sama terhadap satu sama lain.”

Chanyeol mengangkat Yoona dua kali lagi dan akan menahannya di udara lebih lama dari yang seharusnya jika saja gadis itu tidak melontarkan segala macam sumpah serapah dengan suara pelan.

“Kau tidak pernah belajar, ya? Kau harus bersikap sopan kepadaku. Aku adalah pangeran. Pangeran. Apakah kau mengerti?”

Yoona melipat lengannya dan membungkuk. “Tidak. Dan, sang Pangeran akan menerima perlakuan hormat saat dia bersedia untuk menunjukkan perlakuan yang sama terhadap orang lain.”

Chanyeol menyeringai. “Dalam mimpimu, Girly, dalam mimpimu.” Saat Yoona hendak mundur, seringaian Chanyeol semakin lebar dan ia menarik pergelangan tangan gadis itu. “Tidak, kau tidak bisa lolos semudah itu. Kau harus berdansa lagi denganku.”

Yoona menatap tangan Chanyeol seolah itu adalah borgol dan menyentakkannya dengan kuat. “Aku harus pergi,” gumam Yoona sambiol mengerutkan kening. “Tapi, aku yakin Jiwon akan dengan senang hati berdansa denganmu.”

Dalam sekejap, Chanyeol sudah diusik oleh wanita berambut pirang disisi kanannya, sedangkan si wanita berambut cokelat sudah menyelinap pergi. Chanyeol tidak melihat gaun cokelat dimana pun di tengah-tengah kerumunan.

Chanyeol memasukkan lagi tangannya ke saku celana. Itu kali kedua Yoona bisa lolos darinya malam ini. Aku benar-benar harus melakukan sesuatu soal itu.

.

.

Sejujurnya, dansa itu sedikit terlalu mudah. Terlalu nyaman. Tidak seharusnya ia menikmatinya. Apalagi ia berdansa dengan-nya.

Chanyeol yang membawamu ke sini. Jangan lupakan itu, Yoona.

Lebih tepatnya, secara paksa, tambah suara di dalam kepala Yoona, dan ia cenderung setuju.

Yoona berdiri disana selama beberapa saat, senang bisa sendirian dengan pikirannya. Namun, ia disela saat Kris menghampirinya.

“Dimana Chanyeol?”

“Dimana Yiahn?” Tanya mereka bersamaan, sebelum tertawa.

“Chanyeol sedang berdansa,” jelas Yoona.

“Yiahn bilang dia ingin pergi mengambil minum,” jelas Kris. Yoona menaikkan sebelah alisnya. Pergi mengambil minum. Kedengarannya familier.

“Jadi kalian berdua hanya berdansa sekali?” Tanya Yoona.

“Iya. Yiahn terlihat gelisah,” kata Kris, jelas sekali terlihat bingung. Yoona hampir tersenyum melihat kepolosan Kris. Sungguh, Kris.

“Kau benar-benar tidak tahu, ya?”

Kris mengangkat bahu.

Yoona tidak tahan lagi. Ia harus mengatakannya kepada Kris. “Yiahn menyukaimu.”

Yoona berharap wajah Kris akan berubah ceria, atau ada senyuman yang tersungging di bibirnya, atau setidaknya member tanggapan atas apa yang baru saja gadis itu katakan. Namun, Kris tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri disana, saat menit demi menit berlalu.

“Kris?”

“Ini membuat segala sesuatunya jadi lebih rumit,” ujarnya beberapa saat kemudian sambil menghela napas, dan tiba-tiba saja ia beranjak ke balik bayangan gelap.

“Bagaimana?”

Kris menghela napas lagi, dan Yoona melihat matanya berubah hitam. “Aku tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Yiahn, jika itu yang kau pikirkan.” Kris menatap ke arah aula dansa, sebelum berbalik kepada Yoona, matanya sudah kembali ke warna aslinya, tapi lebih terang, lebih hidup. Lebih memikat. “Kau sangat muda dan polos. Aku tidak menyalahkanmu jika kau tidak menyadarinya lebih awal. Tapi, aku tahu kau tidak merasakan hal yang sama, jadi jangan biarkan ini mengubah apa pun. Tidak sedikit pun, oke?”

Mulut Yoona melongo saat ia menyadari apa maksud perkataan Kris. Kris tidak menyukai Yiahn. Ia menyukaiku. Yoona mengangguk pelan, bergeser memutari Kris.

“Tapi mungkin, suatu hari nanti, perasaanmu akan berbeda. Mungkin saat kau menjadi salah satu dari kami—“

“Tidak,” bisik Yoona. “Tidak, tidak, tidak.”

“Yoona! Kumohon, dengarkan aku~”

“Tidak,” tegas Yoona. Ia tidak mau. Ia tidak bisa.

“Aku—aku lelah, aku rasa sebaiknya aku pergi tidur,” kata Yoona terbata-bata, berbalik dengan cepat, lalu meninggalkan ruangan itu.

“Yoona!” Yoona mendengar Kris berteriak memanggil namanya, tetapi sudah terlambat; ia sudah melewati pintu aula dansa dan berlari ke aula depan. Yoona berjalan cepat ke pintu marmer yang terbuka, menghirup udara segar. Ia menatap halaman yang membentang luas, tahu akan sangat mudah baginya untuk melarikan diri sekarang.

Namun, ia tidak akan melarikan diri.

Yoona menarik napas lagi. Bagaimana mungkin aku bisa begitu bodoh?! Jelas sekali! Teramat sangat jelas! Kenapa lagi Kris mau mengundangku ke pesta dansa? Dan berminggu-minggu lalu, Kris menawarkan diri untuk tinggal disini bersamaku sementara yang lain pergi berburu. Inikah alasannya? Dan bagaimana dengan yang lain? Apakah mereka tahu? Yang pasti Chanyeol tahu. Tapi, apakah Yiahn tahu?

Kris tidak mungkin menyukaiku. Ia tidak boleh menyukaiku. Ia hanya berpikir bahwa ia menyukaiku. Ia tidak mengenalku, tidak secara dekat, tegas Yoona, mencoba meyakinkan diri sendiri, dan itu memang benar. Kris hanya mengenal topeng defensif yang ia pakai untuk bisa bertahan hidup disana dan tetap waras selama menjalaninya.

Mata Yoona mulai mengantuk, dan ia menaiki jejeran anak tangga menuju kamarnya. Yoona merasakan tatapan tajam di punggungnya, saat sebagian vampir pergi dari aula dansa menuju aula depan, tapi ia tidak punya energi untuk memedulikannya.

Yoona sampai di puncak anak tangga, lalu menoleh ke bawah untuk yang terakhir kalinya. Ia teringat saat pertama kali melewati pintu besar itu sambil bertanya-tanya apakah ia akan bisa pulang sebagai manusia.

Selama sejenak, Yoona bertanya-tanya seperti apa rasanya menjadi vampir. Seperti apa rasanya meninggalkan semua sisi kemanusiaannya? Seperti apa rasanya jika itu adalah menit-menit terakhirnya sebagai manusia sepenuhnya. Bisakah ia melepaskan segalanya?

Ia mengerjapkan mata dan sudut tangga menjadi gelap selama sejenak, saat salah satu lampu gas mati mendadak. Karena mengantuk ia berbalik, mengabaikannya. Yoona berjalan di sepanjang koridor menuju kamarnya saat air mata menetes ke pipinya.

Dimana topengku sekarang?

Yoona bersandar di dinding yang ada di samping pintu kamarnya, memaksakan dirinya untuk tidak menangis, dan menarik napas panjang yang bergetar. Ia harus lebih kuat. Harus. Ia menempelkan keningnya di dinding yang dingin, napasnya menjadi lebih teratur saat tangannya menekan dinding. Sesuatu yang dingin menyapu pipinya, membuatnya tergelitik, dan seketika itu juga bulu kuduknya berdiri. Rasanya seperti ada angin dingin yang berhembus.

Namun, angin dingin biasanya tidak menggeram.

Yoona berbalik dengan cepat, jantungnya berdetak tidak beraturan. Ia meraba-raba dinding, berusaha mencari kenop pintunya.

Tiba-tiba saja, ada sesosok yang keluar dari balik bayangan, tubuhnya dibingkai oleh cahaya redup yang berasal dari lampu-lampu bawah. Sosok itu bertubuh tinggi, dan sepertinya ada perak versi cair yang mengalir di bagian samping wajahnya. Botol berisi cairan berwarna merah tergantung di lehernya. Yoona menghela napas lega.

“Oh, ternyata hanya kau, Kyuhyun.”

.

.

Mata Chanyeol mencari-cari di aula dansa yang luas itu, tapi tidak mendapatkan hasil. Sebagian wajah balas menatapnya, yang lain buru-buru memalingkan wajah, tapi di antara mereka tidak ada gadis kecil yang berbalut gaun berwarna cokelat.

Mereka tidak disini. Sial.

Chanyeol melihat Kris dan Henry terlibat percakapan serius di sudut gelap dekat pintu dan ia langsung menghampiri mereka dengan amarah yang memuncak. Chanyeol bisa merasakan ketegangan keluarganya, saat mereka juga merasakan kekhawatiran yang sama dengannya.

“Kris.” Mereka berdua menoleh ke arahnya. “Dimana Yoona?” tanyanya dengan suara mendesak.

“Dia pergi tidur, sekitar sepuluh menit lalu,” jawab Kris, mengalihkan matanya dari Chanyeol. Jadi Kris sudah mengungkapkan perasaannya kepada Yoona.

“Apa? Kau tidak pergi bersamanya? Kenapa kau tidak bersamanya?!” tuntut Chanyeol, amarahnya berubah menjadi kepanikan.

Mungkin bukan apa-apa. Mungkin hanya sekadar kebetulan.

“Chanyeol, apa—“

“Cho Kyuhyun juga tidak ada.”

Kris dan Henry bertatapan, lalu menoleh lagi kepada Chanyeol, dengan mata membelalak.

“Oh, Tuhan,” gumam Kris.

Dan setelah mengatakan itu mereka berlari ke arah yang berbeda. Chanyeol berhenti untuk mengamati ruangan itu, sebelum bergegas ke luar untuk bergabung dengan tim pencarian. Setiap anggota keluarga Park dan teman-teman mereka ikut mencari, ketakutan membuat mata mereka berubah jadi tak berwarna.

Dengan perasaan bersalah, kata-kata Chanyeol yang sebelumnya terngiang lagi di kepalanya. “Kepalamu yang menjadi taruhannya, Girly.”

TBC

18 thoughts on “[FF Remake] The Dark Heroine – Dinner with a Vampire

  1. first comment kah? hahahahaha
    aku sangat tidak keberatan thor ff ini belasan ribu words. malah aku seneng karna banyak hahahahaha
    mungkin karena ini remake dari aslinya aku agak susah mahamin kalimat2nya. aku sampe baca berulang2 biar paham. well kalo aku baca aslinya, aku tidak terhubung dengan webnya. jadinya ya cuma bisa lewat ini.
    menarik. cuma ya itu tadi. karna mungkin terjemahan dari versi aslinya yang ngebuat bahasanya jadi sulit dipahami hahahahaha

    Like

  2. aku gak bosen sma sekali kok thor 🙂 malah sukaa yg panjang” kek gini hehe:3 sedikit bingung sih._. itu yg nyuruh yoona lari siapa? ato cuma pemikiran yoona aja._. dann kenapa yoona gak dibebasin aja? anggap yoona itu gak pernah diculik sma kaum vampir/?._. mian aku kurang sedikit paham.-. tpi kek nya kalo next part udah mulai ngerti alur cerita ini’-‘ sumpahh itu chanyeol nya udah keliatan kalo dia mulai suka sma yoona hehe. pokoknya lanjut ya author-nim, i’lk be wait ^^ hwaiting~

    Like

  3. Sikap Yoona ke Chanyeol terlalu ketus dan dingin thor -.-
    padahal ngarep ada adegan romantis antara mereka berdua XD
    eh tapi ini aja udh bikin lemes, leleh sendiri ngebayangin Park Chanyeol, Cho Kyuhyun, sama Kris jd Vampir ganteng dlm 1 ff. bener2 kaya di khayalanku! \(^o^)/
    ditunggu lanjutanx. Keep writing! 😉

    Like

  4. gk apa2 author-nim, aku malah sangat tdk keberatan bila updatean cerita ini sangat panjang… kapan2 buat yg lebih panjang lagi jg gk apa2 *maunya..
    aku mulai suka ada momen ChanYoon.. mungkin Chan tidak pernah sekalipun ditolak ama cewe, sedangkan ma Yoona… kkkk~ jatuh deh wibawanya. Kyukyu itu punya niat jahat ya? tolong Yoong dr evilKyu 😀
    ditunggu lanjutannya~~~ segera hhhheee

    Like

  5. kenapa tbc harus muncul
    ga bosen koq thor puas bacanya malah kalo bisa pengen langsung ada lanjutan lagi
    aduh aku bacanya lama banget ternyata karna harus di ulang” dulu biar bener” ngerti sama kalimatnya 🙂
    yeaayyy akhirnya ada moment yoonyeol juga di sini
    tukan bener kris suka sama yoona
    itu kyuhyun nya ngapain? jangan bilang mu nyelakain yoona :-O

    Like

  6. Panjaaaanngg.. Dan itu sangat sangat menyenangkan membaca 1 part tapi sepanjang ini.

    Yaahh.. Well karna ff ini adalah Remake jadi banyak kata2 yang kurang q mengerti di setiap percakapan mereka. Mungkin bahasanya terlalu berat aja menurutku.
    Tapi secara keseluruhan cerita ff ini menarik.
    Berharap akan mendapat moment YoonYeol yang bikin kaki lemes saking senengnya. Tp ya moment sedikitpun tetep aja bikin seneng. Kkk

    nice fanfic thor.. Ditunggu kelanjutannya.. Fighting!

    Like

  7. puassss banget baca ff ini, gak keberatan author ff nya dibuat sepanjang ini dan tentunya ini gak mengecewakan
    woaaa, yiahn suka sama kris? dan kris suka sama yoona? aku penasaran chanyeol tuh suka sama yoona apa enggak sih?
    terus itu yoona gimana, dia sekarang sama kyuhyun, jangan sampe diapa-apain deh
    ditunggu chapter selanjutnya autor, fighting 😉

    Like

  8. ohh ya ampun, makin seru
    apalagi chanyeol kayanya suka sama yoona, yoona sebenernya juga suka sama chanyeol tapi mungkin dia belum sadar sama perasaannya..

    mungkin gk ya ada cinta segita antara chanyeol, yoona , sama kris ?
    next thor

    Like

  9. Kpan ini diupdate. . .wach kyuhyun mau apain yo0na . . .chanyeol mulai kawatir karna suka ama yo0na atau karena cuma kawatir s0al pertahanan negara. . .wach gak sabr pengen bc lanjtannya. . .tp bhasa agak terlalu rumit dan terlalu tinggi agak susah dipahami. . .

    Like

  10. jangan sampe yoona ikutan sama evilkyu jadi jahat /gak nyambung/ thor seneng bgt baca ini! ceritanya panjang jadi bacanya lumayan lama ampe aku ditegur bundaku gara gara mantengin laptop mulu! kira kira ini sampe chap brp?

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.