[FF Remake] Strangers (Chapter 4)

From the story by : Barbara Elsborg | Main cast : Im YoonA – Park Chanyeol | Other cast : Irene Bae, Xi Luhan, Kim Jiwon, Oh Sehun, Kris Wu, Seo Kangjoon, Kim Jongin | Genre : Romance, hurt, AU | Rating : PG+21 | Length : Chapter/Series

.

.

.

.

Ketika mereka terjaga keesokan harinya, tak satupun dari keduanya mendapat cukup banyak tidur. Chanyeol pikir itu lebih seperti tergelincir ke dalam periode kelelahan tak sadar. Dia merasa lega menyadari bahwa mereka kembali ke tempat tidur dan tidak di lantai, tapi dia merasa sakit. Lengannya melilit Yoona, kakinya di antara kaki Yoona, punggungnya menekan ke dada Chanyeol.

“Oh Tuhan,” keluh Chanyeol.

“Apakah kita berdua masih hidup? Kupikir kita akan membunuh satu sama lain.”

“Ini satu-satunya cara aku ingin mati. Kau—” Chanyeol berhenti dan kemudian berbisik di telinga Yoona, “Kau tidak berpikir tentang bunuh diri lagi, kan?”

“Kapasitasku-untuk berpikir-telah-kau hancurkan.”

“Gadis lucu.”

“Aku tidak bisa merasakan kakiku.” Yoona mengeluarkan erangan panjang.

Jari Chanyeol menelusuri sepanjang bagian atas paha Yoona. “Jangan khawatir. Masih utuh dan kakimu sangat indah.”

Saat tangannya berkelana lebih rendah, bel pintu berbunyi membuat mereka melompat. Yoona membenturkan kepalanya ke dagu Chanyeol.

“Abaikan saja.” Chanyeol mengedipkan air matanya.

Tapi siapa pun yang ada di luar tidak mau menyerah.

“Mungkin Irene. Aku akan pergi dan menbungkamnya.”

Yoona berguling, mengayunkan kakinya dari tempat tidur dan telanjang tersandung keluar dari ruangan.

Chanyeol memandangi pantat Yoona dan mengikutinya.

“Apa?” Bentaknya ke interkom.

“Yoona?”

Suara laki-laki. Seluruh tubuhnya menegang dan Chanyeol menduga Dickhead (si tolol) berdiri di lantai bawah.

“Aku ingin bicara denganmu. Bolehkah aku naik?”

Chanyeol mengepalkan tinjunya.

“Tidak,” kata Yoona.

“Kumohon. Maafkan aku. Aku harus menjelaskan. Aku merasa tidak enak. ” Chanyeol menarik Yoona ke samping.

“Biarkan dia masuk,” katanya. “Bukankah kau ingin mendengar apa yang akan dia katakan?” Yoona menatapnya, tapi tidak meraih untuk menghentikan Chanyeol ketika jarinya menyentuh tombol pelepas pintu. Chanyeol berjalan ke kamar mandi dan kemudian memunculkan kepalanya keluar.

“Lebih baik pakai sesuatu. Tapi, jangan terlalu banyak. Beri dia sedikit petunjuk apa yang sudah ia lewatkan.” Chanyeol bersandar di wastafel, jantungnya berdetak keras. Bagaimana jika si tolol lebih besar daripada dia? Bagaimana jika Yoona ingin dia kembali?

Ketika Yoona membuka pintu mengenakan t-shirt panjang, Kris menjulurkan seikat besar bunga setinggi pinggang. Mungkin dia berharap bunga itu akan memberikan sedikit perlindungan.

“Yoona, aku minta maaf,” kata Kris.

“Baik.”

Yoona tidak bisa percaya dia berdiri disana berbicara dengan Kris, bukannya berlari ke dapur untuk mengambil pisau, tidak meluncurkan kakinya ke pangkal pahanya. Hmm, dia seharusnya memakai sepatu.

“Bolehkah aku masuk?”

Yoona mundur dan Kris masuk, menutup pintu di belakangnya.

“Ini untukmu.”

Karena Yoona tidak akan menerima bunganya, Kris meletakkannya di lantai. Yoona bersandar di dinding dan menjaga kedua tangannya tetap di belakang punggungnya. Dia tidak ingin Kris memperhatikan dia gemetar.

“Jadi semuanya adalah taruhan.” kata Yoona.

“Ya,” kata Kris. “Aku tidak bisa mengungkapkan padamu betapa aku sangat menyesal. Sejujurnya, aku tak pernah berpikir kau akan menerimanya. Ini bergulir seperti bola salju.”

Yoona mengertakkan giginya.

“Kau tampak…m-mengerikan,” Kris tergagap.

Yoona menduga bibirnya bengkak, wajahnya seperti tergores-jerami dan rambutnya berantakan. Dicintai, Yoona berpikir dan tersenyum.

Toilet disiram dan mata Kris pindah ke pintu kamar mandi dan kemudian kembali pada Yoona. Saat ia membuka mulutnya untuk bicara, Chanyeol muncul dengan bagian bawah wajahnya tertutup busa cukur, pisau di tangannya, handuk tersandang rendah sekitar pinggulnya. Dia tampak seperti telah berjalan langsung keluar dari sebuah iklan TV. Kris melongo dan matanya terbuka lebar. Dia tahu Chanyeol telah mengejutkan Kris dengan cara yang tak akan pernah ia kira.

“Chanyeol, ini adalah Kris.”

“Oh, ya. Hai, Dick.” Chanyeol mempertegas namanya.

Nadi Yoona melonjak.

“Namaku Kris.”

Dick lebih cocok untukmu.” kata Chanyeol.

Mata Kris berpindah antara Yoona dan Chanyeol.

“Yoona sedang sakit,” kata Chanyeol. “Dia baru saja pulih dari penyakit Dick-itis yang parah.” Butuh beberapa saat agar Kris mengerti. Lalu ia melotot. Yoona mendengarkannya dengan gembira.

“Aku ingin memastikan dia baik-baik saja. Aku bisa melihat ternyata aku tak perlu repot-repot.”

“Ya, kau seharusnya begitu, Dick. Kau memakai trik yang sangat buruk,” bentak Chanyeol.

“Kau tidak butuh waktu lama untuk pulih,” kata Kris pada Yoona.

“Hei, terima kasih untuk pisau cukur dan gel cukurnya. Kau tidak keberatan aku menggunakannya, kan, Dick? Aku juga makan daging sapi Aztec dan es krim lezat itu. Terima kasih sebesar-besarnya untuk membeli banyak kondom. Menghemat waktu kita untuk berbelanja yang membuang waktu.” wajah Kris berubah menggelegak. Yoona tidak berusaha menyembunyikan rasa gelinya.

“Sepertinya itu bukan satu-satunya hal yang kau gunakan.” Kris menatap Yoona.

Chanyeol meletakkan tangannya di bahunya.

“Kau orang yang menyakitinya. Enyahlah.” Suaranya tenang tapi mematikan.

“Dia perempuan gampangan.”

Chanyeol begitu cepat, Yoona terhuyung saat Chanyeol menjauh darinya.

Kedua pria itu berdiri berhadapan wajah dengan wajah, begitu dekat sehingga gumpalan busa cukur berpindah ke hidung Kris.

“Kau tahu, kupikir aku seperti sampah, tapi kau menumpahkan semua kotoranmu pada dirimu sendiri. Kau meminta Yoona untuk menikah denganmu untuk taruhan? Kau sama sekali terlepas dari tangga evolusi. Kenapa kau di sini? Ingin bersetubuh, kan? Jangan repot-repot menjawab karena kita tahu kebenarannya dan jangan pernah menyebut namanya lagi, Dick. Kau bahkan tidak layak untuk menghirup udara yang sama dengan Yoonaku.” Chanyeol mendorong Kris keluar, mengambil bunga, melemparkannya dan membanting pintu. Mereka mendengar dia menyumpah dan kemudian melangkah turun ke koridor.

Yoona-ku? Hati Yoona berdengung dengan kegembiraan.

“Kau membuatnya ketakutan,” kata Yoona dan cemberut. “Aku sangat berharap kami bisa kembali bersama, tapi sekarang kupikir dia tak akan mau melihatku lagi.”

Chanyeol tertawa. “Maka kau harus membiasakannya denganku.”

Yoona tersenyum dan memeluk pinggang Chanyeol. “Terima kasih, Chanyeol.” Chanyeol tak tahu betapa berartinya itu bagi Yoona, bahwa Chanyeol membela dirinya seperti itu. Yoona harus selalu berdiri untuk dirinya sendiri tanpa kakak, keluarga, dan teman.

“Untuk apa?”

“Memainkan peran sebagai pahlawanku.”

“Aku tidak main-main.” Chanyeol menaruh ekspresi terluka di wajahnya. “Aku pahlawanmu.” Chanyeol menarik lepas t-shirt melalui kepala Yoona, melemparkannya ke satu sisi dan membimbingnya menuju kamar mandi. “Kita memiliki jadwal yang padat. Pertama, shower kemudian berendam, lalu shower lagi, lalu tempat tidur. Mungkin jeda untuk makan.”

Yoona terkekeh.

“Menurutmu dia tidak mengenaliku, kan?”

“Aku meragukannya.”

Yoona melepas handuk Chanyeol, membiarkannya jatuh ke lantai dan tersenyum saat kejantanannya berkedut dalam antisipasi. Chanyeol memiliki tubuh yang luar biasa, otot dada yang kekar dan otot perut seperti terpahat. Saat Yoona menatapnya, puting berwarna tembaga milik Chanyeol mengeras dan Yoona pun tertawa.

“Kau tahu, menatap tubuhku dan tertawa tidaklah berpengaruh baik pada egoku.”

“Egomu cukup besar. Bukannya kau punya album yang disebut ‘The Ego has Landed’?”

“Tidak, itu punya Lee Dong—” Ia berhenti ketika melihat wajah Yoona. “Ha ha. Sangat lucu. Bukan.”

Yoona mengusap tangannya di dagu Chanyeol dan mengelap busanya, mengolesinya ke bawah dada dan ke batang kejantanannya. Ia langsung keras. Yoona menyukai bagaimana tubuh Chanyeol menanggapi sentuhannya. Yoona mendorongnya ke kamar mandi dan meraih keran sebelum dia berlutut.

Air mengalir di atas mereka saat Yoona mencuci busa dari kejantanannya. Ketika mulutnya menutup di sekelilingnya, Chanyeol bereaksi seperti tersambar petir. Dia membeku dengan punggung menempel di dinding ubin. Yoona menjilat setetes basah dari ujungnya dan menggerakkan lidahnya turun di sepanjang kemaluannya. Ketika Yoona memasukkan milik Chanyeol secara lambat dan jauh ke dalam mulutnya, napas Chanyeol mendesis di antara bibirnya. Ketika shower menuangkan air di atas kepalanya, Yoona menyedot berirama. Jari-jari Chanyeol tenggelam dalam rambut Yoona dan dia melepas erangan parau. Ketika Yoona mendongak dan melihat Chanyeol menatapnya, wajah Chanyeol berubah.

“Sial, Yoona, aku minta maaf. Maafkan aku,” Chanyeol megap-megap dan menyembur di dalam mulut Yoona.

Saat Chanyeol bersandar ke dinding, ia menarik Yoona berdiri, dan menyeka bibirnya dengan jari-jarinya. “Aku seharusnya memperingatkanmu saat aku akan meledak.”

“Aku sudah tahu kau berbahaya.”

“Aku biasanya memiliki kontrol lebih daripada sekarang. Ini semua salahmu.”

“Kau ingin aku menunjukkan trik yang aku tahu?”

Chanyeol menjilat bibir Yoona. “Apa aku akan menyukainya?”

“Ya. Percaya padaku?”

Chanyeol mengangguk.

Yoona mematikan keran shower dan menarik Chanyeol kembali ke kamar tidur tanpa repot-repot mengeringkan badan dengan handuk. Chanyeol masih hiper dan Yoona tak tahu bagaimana menghentikannya. Well, mungkin ini akan berhasil. Yoona menumpuk bantal di kepala tempat tidur.

“Buatlah dirimu nyaman. Aku harus mengambil sesuatu.”

“Secangkir teh dan roti panggang?” Tanya Chanyeol.

Yoona memutar matanya tapi kembali dengan sarapan, ditambah empat potong material panjang dan beberapa benda lainnya. Yoona melihat Chanyeol memandangi benda-benda itu, tapi dia tidak mengatakan apapun. Mereka saling menyuapi roti panggang, Chanyeol menggodanya dengan hampir membiarkan Yoona menggigit kemudian menariknya menjauh.

“Kau tampaknya suka menyiksaku,” kata Yoona dengan geraman.

“Ya.” Chanyeol mengambil kembali potongan terakhir roti dari bibir Yoona dan melemparnya ke dalam mulutnya.

Yoona menarik sehelai kain di antara jari-jarinya. Chanyeol berhenti di pertengahan mengunyah, kemudian bergegas untuk mengosongkan mulutnya.

“Tidak.” Chanyeol menggeleng.

“Aku berjanji kau akan menikmatinya.”

Chanyeol merosot. “Oh Tuhan. Bisakah kita bermain telepon seks saja?”

“Ini lebih baik. Aku berjanji untuk berhenti jika kau memintanya.”

Chanyeol mendesah dan memegang pergelangan tangannya ke besi kepala tempat tidur. “Tidak ada gambar.”

Yoona tersendat sambil mengikat pergelangan tangan Chanyeol. “Aku tak punya kamera.”

“Ponsel?” Tanya Chanyeol.

“Bukan milikku. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Chanyeol, jika kau tidak—”

“Maaf, maaf.” Dia menarik Yoona mendekat dengan tangannya yang bebas dan menyapu bibirnya terhadap bibir Yoona.

Chanyeol pernah terluka. Yoona melihat itu di wajahnya. Chanyeol tidak cukup bisa melepaskannya.

“Kau bisa percaya padaku, Chanyeol. Aku berjanji. Aku tak akan pernah mengecewakanmu. Tak ada kiss and tell (menceritakan rahasia seseorang). Hanya ciuman dan ciuman.”

Chanyeol tersenyum dan Yoona mengikat pergelangan tangannya yang lain. Dia menggunakan potongan kain yang lenih panjang untuk mengikat pergelangan kakinya dengan kaki yang terentang lebar.

Chanyeol mengerutkan kening. “Apa kau sudah membaca bukunya Stephen King?”

“Buku yang menceritakan tentang seorang penulis yang diikat oleh penggemarnya? Atau Gerard—Gerald’s Game? Kalo itu sebaliknya. Dia yang mengikat si wanita.”

“Aku tidak yakin aku mampu melumat jari-jariku untuk melonggarkannya.” Yoona terkikik. “Si wanita tidak melakukannya. Dia di borgol. Satu sentakan dan kau bisa membebaskan diri.”

“Merusak fantasiku, kenapa kau tidak melakukannya?”

Yoona menarik tirai di sisi tempat tidur menghadap jendela. “Untuk berjaga-jaga. Oke?”

“Apa yang akan kau lakukan?” Kata Chanyeol tanpa pikir.

“Menempelkan pin di setiap inci tubuhmu dan berdiri diatas tubuhmu memakai stiletto sampai kau melolong minta ampun.”

Chanyeol menelan ludah. “Alternatif lain?”

“Melakukan segala sesuatu yang kubisa untuk membuatmu klimaks tapi tidak membiarkan hal itu terjadi selama satu jam.” Erangan gemetar Chanyeol menyalakan api di perut Yoona.

“Satu jam?” Yoona duduk di antara kakinya dan membuai bolanya, menggunakan jempol di antara bolanya yang lunak dalam belaian lembut. Kemaluannya membengkak seperti kecambah yang mekar.

“Bagaimana kalau sepuluh menit?” Tanya Chanyeol.

Tangan Yoona tetap di sekitar pangkal kemaluannya dan mengencangkan jari-jarinya, mendorong ke bawah pada bolanya pada waktu yang sama. Yoona mendengar napas Chanyeol semakin cepat dan Yoona menatap wajahnya. Chanyeol menatap langsung ke arahnya. Yoona menggunakan tangan yang lain untuk membelai kejantanannya tegang, jari-jari mengikuti ke atas dan ke bawah, mengikuti garis pembuluh darah dibawahnya, menyapu di bawah kepalanya yang bulat dan ke dalam lubang halus di bawahnya.

“Oh Tuhan,” gumam Chanyeol dan matanya tertutup.

Matanya terbuka lagi ketika ia merasakan adanya minyak. Yoona mengucurkannya di atas bolanya, membiarkannya mengalir di kepala kemaluannya dan menetes ke bawah tangannya yang melilit di pangkal kemaluan dan dari sana lalu ke bolanya. Yoona melepasnya dan, dengan menggunakan satu jari, menelusuri jalur berminyak dari puncaknya yang berkilau, turun kebatangnya, melalui garis tengah gelap bolanya dan ke atas daging segitiga luarnya. Ketika Yoona mengelusnya di sana Yoona mendengar perubahan napas Chanyeol, berubah lebih lambat dan lebih dalam ketika ia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Nanti akan lebih menyenangkan lagi.

Tangan Yoona kembali ke pangkal kejantanannya sambil mengamati wajah Chanyeol, meremas cukup keras hingga nyaris menyakitkan. Chanyeol sedikit terkejut dan matanya dibuka untuk mengawasi Yoona. Yoona meluncurkan pegangannya sedikit lebih tinggi ke batangnya dan meremas lagi, memutarnya pada waktu yang bersamaan. Dia mengulangi hal yang sama berulang-ulang, bergerak naik perlahan-lahan yang dia bisa sampai mencapai kepala kemaluannya dan setetes cairan mengalir dari celah kepalanya.

“Oh sial,” Chanyeol terengah.

“Perhatikan, Chanyeol.”

Tetesan pre-cum bertambah sampai terlalu berat untuk tetap di tempat dan kemudian menggantung dari kemaluannya seperti es mencair. Yoona menunduk dan menjilatnya sebelum tetesan itu jatuh mengenai perutnya.

“Siaalll.”

Tangan Yoona kembali ke dasar kemaluan Chanyeol, Yoona mulai lagi. Memeras, naik, memeras, naik. Setiap gerakan lambat dan diukur, sementara Chanyeol bergetar seperti anjing basah.

“Bagaimana…kalau tidak membiarkanku klimaks…selama enam menit,” Chanyeol menelan ludah.

Yoona menggunakan ibu jari dan telunjuk untuk memijat ujung kemaluannya dan kali ini setetes cairan yang ia perah jadi lebih besar lagi. Tangannya berhenti di dasar kemaluannya dan memegang dengan erat saat butiran pre-cum bertambah besar.

“Ya Tuhan.” Chanyeol menyentak terhadap ikatan ditangannya.

Yoona terus menatapnya sambil menyapukan lidahnya di atas kepala kemaluannya, meraup kenikmatan yang asin-manis sebelum menyeret permukaan lidahnya bolak-balik di atas kepala sensitifnya. Yoona tahu dia membuat Chanyeol bergairah, tapi tubuhnya menjepit dan santai saat cairannya sendiri melapisi bibir kewanitaannya.

Yoona tidak yakin berapa kali ia memerah pre-cum dari Chanyeol tapi erangan putus asa Chanyeol memperingatkannya untuk menarik diri. Bolanya sudah tertarik ketat dipangkalnya dan kejantanannya tampak seperti marah, puncaknya berwarna gelap-merah penuh dengan darah. Yoona tidak menyentuhnya tapi menyelimuti dengan kain dingin di pangkal pahanya. Chanyeol menghela napas panjang.

“Itu tadi setidaknya lima puluh menit. Kan?” Tanya Chanyeol.

“Tiga menit.”

“Tidaaaaaak,” ratapnya.

Yoona tertawa. “Baiklah. Sepuluh menit.”

“Kau seperti penyihir.”

Yoona mengambil kainnya dan melempar ke sisinya. “Siap untuk lebih banyak lagi?”

Chanyeol menemukan dirinya mengangguk. Rasa sakit di bolanya adalah intens tapi dia bisa bertahan lebih lama dari sepuluh menit. Bisakah dia? Jari Yoona menyentuh lubang anusnya dan Chanyeol tersentak hingga hampir saja tubuhnya jatuh dari tempat tidur.

“Ya Tuhan, Yoona. Beri sedikit peringatan!”

“Di mana kesenangannya?”

Tangan Yoona mengepal di sekitar pangkal kemaluannya dan Chanyeol tahu penyiksaan itu belum berakhir. Yoona menunduk dan mengisap ujung batangnya, menariknya dengan sentakan pendek, berirama yang membuat tekanan darahnya meroket. Pada saat yang sama, Yoona mengitari cincin otot anus yang mengerut dengan jarinya berminyak.

OhGodohGodohGodohGod.

Chanyeol tidak yakin apa yang ia inginkan. Well, dia yakin. Dia sudah tidak terlalu ingin berhubungan seks dengan seorang pria lagi, tapi suatu sensasi di anusnya sementara ia bermasturbasi layak diulangi. Hell, dia harus mengulanginya.

Bagaimana bisa Yoona melakukan begitu banyak hal dalam waktu yang sama? Sementara ujung jarinya menekan bertubi-tubi terhadap lubang anusnya, jari-jarinya yang lain telah menemukan dan menggosok titik tekanan di tengah antara bola dan anusnya—sesuatu yang membuatnya benar-benar gila. Dan mulutnya masih melakukan menyihir pada kemaluannya. Kejantanan Chanyeol sudah ada di tangan dan mulutnya. Dia bisa membuat Chanyeol klimaks, atau menghentikannya saat akan klimaks. Dia memiliki kekuasaan untuk memberinya orgasme yang membuat kepalanya berputar dan kekuatan untuk menyeretnya menjauh dari genggamannya dan mengubah sifatnya ke sesuatu yang lain sama sekali. Apa Yoona tahu?

Jarinya menggoda dan menekan sepanjang tubuh Chanyeol. Tentu saja Yoona tahu.

Tangan kecilnya melawan kebutuhan putus asa tubuh Chanyeol dan dia menang. Chanyeol tertawa tertahan. Sebagai balasannya, Yoona mengubah caranya mengisap, memutar mulutnya saat ia turun ke bawah dan menusukkan jarinya ke dalam anus Chanyeol, menjangkau prostatnya. Chanyeol tak berdaya. Chanyeol tidak bisa bicara, hampir tidak bisa berpikir, hanya bisa merasakan. Yoona memijat turun dari ujungnya, dari waktu ke waktu dan setiap kali membuat tubuh Chanyeol tersiksa dengan getaran hampa. Chanyeol memaksa matanya terbuka untuk mengawasinya, melihat konsentrasi intens di wajah Yoona, pre-cum berkilau di bibirnya, dan berpikir itu sudah cukup untuk membuat Chanyeol keluar. Sekali lagi, Yoona menariknya kembali, menyeretnya dari tepian hanya beberapa saat ketika Chanyeol akan terlempar kedalam kehampaan. Tekanan di bagian kecil otot di belakang bolanya cukup kuat untuk membuat matanya sakit.

Chanyeol bersumpah miliknya sekarang lebih keras daripada yang pernah ia alami, bolanya lebih ketat daripada yang pernah ia alami. Ia belum pernah mengalami berada dalam kondisi sangat dekat dengan klimaks tapi tidak klimaks. Tidak pernah seputus asa ini menginginkan untuk klimaks. Otot-otot pahanya seakan menyala, titik-titik api menyerang tulang belakangnya, ia basah dengan keringat dan ia bisa merasakan spermanya mulai mendidih. Orgasme membayangi, mengintai, mengancam. Yoona menekuk jarinya, menemukan prostatnya lagi dan Chanyeol merintih. Dia membuka mulutnya untuk bicara dan tidak ada yang keluar. Yoona membelai dirinya dari luar dan dalam, menjentikkan lidahnya dengan kecepatan kilat di atas ujung kejantanannya, melonggarkan pegangan di pangkalnya dan otak Chanyeol pun meledak. Saat semburan pertama menyemprot dari bolanya, ia merasa Yoona menekan pada titik di belakang bolanya, menghentikan pancaran air mani ditengah jalan. Sialansialansialan. Apa-apaan ini?

Chanyeol berpikir seluruh tubuhnya akan klimaks, tapi hal itu tidak terjadi. Serangan kejang yang panjang, memilukan menguasainya dan Chanyeol berteriak. Tidak ada denyutan dari air mani, tidak ada lelehan dari sperma membanjiri mulut Yoona, menenggelamkannya, hanya riak sensasi intens yang mengguncang Chanyeol dari ujung kepala sampai kaki, seolah-olah ia telah ditangkap ke rahang ikan paus pembunuh—dalam cara yang menyenangkan. Dia tidak bisa bicara, tidak bisa bernapas, tidak bisa berhenti melonjakkan pinggulnya dan melemparkan Yoona.

Yoona mendorong jari-jarinya masuk kembali ke dalam dirinya dan dia keluar lagi. Chanyeol tidak bisa menahannya, tapi ia tidak bisa mencegahnya berhenti. Punggungnya melengkung saat kontraksi lain mencengkeram pangkal pahanya. Kemudian kakinya bebas, tangannya juga bebas dan ia berbaring bergetar dalam pelukan Yoona.

“PINku adalah 1234. Kode alarm pencuri 4321. Kunci bagasiku 9999. Itu aku yang membakar semua buku pelajaran Jerman, aku yang menaruh pewarna merah di kolam renang.” Chanyeol menghela napas.

Yoona membelai wajahnya. “Oke?”

“Oke? Ya Tuhan. Itu luar biasa. Aku tidak akan pernah bisa berjalan lagi, tapi itu tidak masalah asalkan kau jadi perawatku. Aku tidak percaya si tolol itu membiarkanmu pergi dari jangkauannya.”

“Aku belum pernah melakukan semua itu sekaligus sebelumnya.”

Chanyeol berusaha menengokkan kepalanya untuk melihat Yoona. Apa Yoona berbohong? Itu adalah apa yang wanita katakan padanya sepanjang waktu—mereka tidak pernah orgasme begitu kuat, mereka belum pernah tidur dengan siapa pun yang menyerupai dia, bahwa dia adalah yang terbaik, terbesar, terpanas.

“Ketika aku memulai kerja di telepon seks aku menghabiskan beberapa hari mencari situs yang menarik di Internet dan membuat catatan sehingga aku bisa terdengar asli.”

“Apakah ada yang pernah berhasil sampai ke akhir pembicaraan bersamamu tanpa klimaks?” Yoona tertawa.

“Tidak. Kecuali mereka berpura-pura.”

.

.

.

.

Jiwon menatap Irene, kemudian Sehun lalu kembali ke meja ruang tamu. Dia sedang menunggu salah satu dari mereka untuk bicara dan melihat bagaimana percakapan ini berlangsung, dia pikir lebih mungkin dia akan mendapat respon dari meja tamu. Catatan bunuh diri Yoona terampang di depan mereka.

“Aku berharap aku tidak pernah menemukannya,” kata Jiwon. “Aku berharap aku tidak pernah mengatakannya pada kalian.” Bola kertas itu jatuh keluar dari tempat sampah pagi itu saat Jiwon mengangkat tutupnya untuk menjatuhkan sampah ke dalamnya. Dia mengambilnya, dan ketika ia melihat tulisan tangan itu dia terlalu usil untuk tidak membukanya. Ia berharap ia tidak melakukannya.

Jiwon tahu kalau menceritakannya pada yang lain, dia akan membuat masalahnya lebih buruk. Yoona tidak ingin ada yang tahu tentang hal ini dan sekarang mereka semua tahu dan setiap kali mereka memandangnya, mereka akan berpikir tentang apa yang dia rencanakan untuk dilakukan.

“Mungkin itu bukan apa yang kita pikirkan,” kata Sehun.

Irene memutar matanya. Dia mengambil kertas di bagian ujungnya seolah-olah itu adalah sesuatu yang bisa menginfeksi, dan membacanya lagi.

Untuk Irene, Jiwon dan Sehun,

Jika kalian membaca ini, kukira diantara kalian belum melihatku untuk sementara waktu dan berpikir bahwa kalian sebaiknya memeriksaku untuk melihat apakah aku baik-baik saja. Atau kalian sudah tahu bahwa aku tidak baik. Jika itu yang pertama, maka maaf, tapi aku tidak akan kembali. Jika itu yang terakhir, maka kalian tahu aku tidak akan kembali. Jangan berpikir bahwa kalian telah mengecewakanku dengan cara apapun. Kalian tidak. Bahkan Kris. Ada sesuatu di lemari es untuknya. Pastikan ia mendapatkannya. Tidak perlu menyalahkan siapa pun. Ini adalah keputusanku. Aku sudah cukup dengan hidupku.

Terima kasih telah menjadi teman-temanku. Berbahagialah.

Semoga sukses

Yoona

PS: pengacaraku adalah Park Sihoo. Hubungi dia.

“Bagaimana bisa itu bukan catatan bunuh diri, Sehun?” Tanya Irene.

Sehun membuka mulutnya dan kemudian menutupnya lagi.

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” Jiwon melirik Irene, yang mengangkat bahu.

“Apa kita perlu melakukan sesuatu? Kita tahu dia tidak melakukannya.” kata Sehun, saat benturan keras terdengar dari lantai atas. “Maksudku, dia meremas catatannya dan membuangnya. Dia berubah pikiran. Dan dia pasti di apartemennya. Aku tak pernah mendengar dia membuat begitu banyak kebisingan.”

“Tapi kedengarannya sangat final,” kata Jiwon. “Dan itu tidak terdengar seperti karena Kris. Dia bilang dia sudah cukup dengan hidupnya. Itu sangat menyedihkan.” Ada lagi bunyi keras dari lantai atas dan gemuruh tawa.

“Kupikir dia baik-baik saja,” kata Irene. “Teman barunya ini tampaknya telah menyemangati dia. Tadi pagi aku melihat Kris keluar dari sini dengan marah, jadi Yoona jelas sudah selesai dengannya.”

“Itu tampaknya sangat cepat untuk langsung menjalin hubungan baru,” kata Jiwon. “Kau pikir dia ingin sedikit berkabung lebih dulu.”

“Untuk bajingan seperti Kris?” sembur Irene.

“Haruskah kita melakukan sesuatu?” Tanya Jiwon ke Sehun.

“Kupikir kita tidak harus menceritakan padanya kita tahu tentang catatan itu. Jika dia ingin bicara dengan kita, dia akan melakukannya.” kata Sehun.

“Aku akan membuangnya.” kata Irene saat suara seorang pria tertawa bergema melalui langit-langit.

.

.

.

.

Chanyeol mencabut telepon dan memutuskan belnya. “Jangan menjawab jika ada yang mengetuk pintu,” katanya. “Aku ingin kau hanya untukku sendiri.” Dia mengikuti Yoona kemanamana, tidak pernah lebih dari sejangkauan tangan jauhnya dan biasanya, tidak sampai sejauh itu. Dia memegang tangannya atau menekan tubuhnya terhadap tubuh Yoona, sangat ingin untuk menyentuh Yoona di sampingnya. Dia tidak ingin salah satu dari mereka meninggalkan apartemen, dan begitu stres ketika Yoona bersikeras membuang sampah ke tempat sampah di bawah, dia merasa sesak napas saat Yoona kembali. Chanyeol tidak bisa berfungsi tanpa Yoona. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.

Dia tidak berpakaian dan membuat Yoona tetap telanjang juga. Tapi itu bukan hanya seks. Itu Yoona. Tanpa dia di sampingnya, Chanyeol merasa kehilangan. Kadang-kadang, ia tidak mau makan dan kemudian ia tidak bisa berhenti makan. Mereka makan langsung dari freezer dan lemari, mengkonsumsi brokoli dan kacang panggang, udang dan pizza, kari hijau Thailand dan pasta isi keju.

“Tak lama lagi, aku cuma punya es batu saja,” kata Yoona.

“Aku selalu bisa memakanmu.” Chanyeol menjatuhkan diri ke sofa dan menarik Yoona.

“Dan yang mana yang akan kau makan duluan?”

“Jari kaki.” Dia mengangkat kaki Yoona dan menggigitinya dengan pelan.

Yoona menggeliat saat Chanyeol menggelitik dirinya. “Bukan pantatku?”

“Aku akan menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir.”

Dia memeluk Yoona dan menempelkan wajahnya ke lehernya. Tubuhnya gemetar. “Apa yang terjadi padaku?” Tapi Chanyeol tahu. Dia sedang mengalami sakaw. Detoksifikasi dirinya sendiri.

“Kau telah kembali dari suatu tempat,” kata Yoona. “Kau seperti tanaman yang belum disiram dan kemudian datang hujan lebat. Kau hidup kembali.”

“Itu menyakitkan.”

Yoona memeluknya erat, menelusuri angka delapan di kulitnya. Pikiran Chanyeol berdengung seakan sekelompok lebah masuk ke dalam satu telinganya dan meluncur mengitari kepalanya sebelum terbang keluar dari telinga yang lain. Dan kebisingan bertambah keras dan lebih keras sampai dia pikir dia akan gila.

“Pergilah belikan aku beberapa rokok dan bawakan aku sesuatu yang layak untuk diminum,” dia megap-megap.

“Kupikir kau tak ingin aku pergi keluar.”

Well, aku ingin sekarang. Aku akan mengembalikan uangmu nanti.”

“Aku tidak akan membelikanmu rokok atau minuman keras.”

Chanyeol melotot padanya. “Kau perempuan menyebalkan.” Tapi dia mencengkeram Yoona lebih erat.

“Kau tidak membutuhkan itu,” kata Yoona.

“Ya, aku butuh,” bentak Chanyeol. “Aku ingin satu atau dua baris kokain juga, untuk menghiburku.”

“Kau punya perempuan menyebalkan, apa lagi yang kau butuhkan?”

Chanyeol melongo kemudian mulai tertawa dan sekali ia mulai, ia tidak bisa berhenti. Chanyeol tertawa sampai dia menangis, terisak terengah-engah hebat yang memeras seluruh tubuhnya dan melalui semua itu, Yoona tak pernah meninggalkannya. Dia memeluk Chanyeol, membelainya dan menenangkan wajahnya dengan kain flanel dingin. Ketika Chanyeol terlalu lelah untuk bergerak, Yoona menelusuri kain di atas tubuhnya, di sepanjang masing-masing jari, di setiap inci kulitnya kecuali satu tempat yang Chanyeol ingin Yoona sentuh.

Please, Yoona.” pinta Chanyeol, tangannya beringsut ke arah kemaluannya.

Yoona mengangkat jari-jarinya menjauh. “Lihat berapa lama kau bisa bertahan.” Bahkan menonton Yoona menyebabkan ereksinya bangkit seperti ular yang terpesona. Yoona melanjutkan belaian menggoda dan ia menemukan dirinya hanya memikirkan Yoona dan apa yang Yoona lakukan padanya. Pada akhirnya, Chanyeol begitu terangsang, ia klimaks tanpa Yoona menyentuhnya dan muncrat di perutnya. Sebuah mimpi basah di siang bolong.

Tapi Chanyeol suka menyentuh Yoona. Tidak bisa melepaskan tangannya dari Yoona dan Yoona tidak pernah menarik diri. Dia tidak bisa tidur, jadi dia terus membuat Yoona terjaga. Membangunkan Yoona untuk bercinta dengannya. Dia menyeret Yoona menjauh saat sedang menggosok giginya untuk bercinta dengannya. Di tengah-tengah kegiatan memasak, ia menarik Yoona dan menidurinya dan Yoona tidak pernah berkata tidak ketika kadang-kadang Chanyeol berharap Yoona mengatakannya. Chanyeol sadar ia mengganti setiap sifat buruknya dengan adanya Yoona.

Mengapa Yoona tidak bisa melihat itu?

Chanyeol mudah tersinggung dan pemarah. Kadang-kadang ia marah pada Yoona, benar-benar bersikap tidak menyenangkan. Tapi Chanyeol selalu meminta maaf, selalu ingin meluruskannya lagi. Ketika dia liar, Yoona menenangkan dirinya. Ketika ia menangis, Yoona memeluknya. Ketika ia ingin bicara, Yoona mendengarkan. Ketika ia ingin diam, Yoona tidak berbicara. Dan Chanyeol menyadari bahwa ia tidak ingin rokok atau minuman keras atau kokain lagi. Dia hanya ingin Yoona.

Yoona berpikir dia tahu apa yang terjadi pada Chanyeol. Sesuatu yang buruk dalam dirinya sedang menjalar keluar. Yoona melihat moodnya berubah-ubah dari penuh kasih sayang menjadi gusar, dari sedih menjadi gembira, dan menanganinya dengan cara terbaik yang Yoona bisa lakukan. Chanyeol sangat membutuhkan Yoona, Yoona tidak punya waktu untuk berpikir tentang apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Kris bukan masalah.

Chanyeol sedang dalam kesulitan. Kebutuhan Chanyeol pada Yoona untuk menyelamatkannya. Ketika Chanyeol tidak bisa berhenti gemetar, ia memeluknya. Ketika semua yang ia mampu lakukan hanyalah mondar-mandir di apartemen, menyeret Yoona bersamanya, Yoona memikirkan cara-cara untuk mengalihkan perhatiannya.

“Silakan duduk di kursi, Sir. Acara ini akan dimulai dalam dua menit.” kata Yoona. Yoona mendudukkannya di sofa, memberinya kertas dan pena. “Beri nilai satu sampai sepuluh,” katanya. Kemudian Yoona menjadi model pakaian dalamnya—katun, renda, kulit dan celana boxer Chanyeol— sampai Chanyeol lupa untuk menuliskan apa pun, lupa mengapa Yoona memulainya.

Ketika mereka mulai tidur lebih lama, mimpi buruk melanda mereka berdua.

Terkadang Chanyeol terbangun, wajahnya terukir dalam ketakutan, wajah Yoona bermandikan keringat. Di lain waktu, Yoona menarik Chanyeol menjauh dari apa pun iblis yang telah menangkapnya. Mereka memiliki siksaan masing-masing dan mereka saling berpelukan, beralih ke humor untuk meredakan kecemasan mereka atau seks untuk melupakannya. Percakapan mereka melantur mencurahkan harapan, impian dan ketakutan.

Tapi bahkan saat Yoona terhuyung di ambang pengungkapan yang terlalu banyak, Yoona tetap menyimpan rahasia terdalamnya sementara Chanyeol mengungkapkan semuanya. Dan ketika Yoona tergoda untuk menceritakan semuanya, Yoona menggunakan seks untuk mengalihkan perhatian dirinya sendiri.

Mereka berbaring kelelahan dalam lengan dan kaki bertaut dan Yoona tahu ini adalah yang paling dekat yang dia pernah lakukan pada seseorang.

“Aku takut sudah mengganti satu kecanduan ke kecanduan yang lain,” gumam Chanyeol, menelusuri tangannya di atas kulit Yoona.

Yoona tahu, karena dia kecanduan pada Chanyeol, pada pandangan dan suaranya, sentuhan dan aromanya, mata cokelatnya yang lembut yang berubah sesuai suasana hatinya, senyum seksi dan di zona di belakang telinganya yang membuat dia liar ketika Yoona menjilatnya.

.

.

.

.

Saat hari demi hari berlalu, Yoona melihat penghilangan secara bertahap dari lingkaran hitam di bawah mata Chanyeol. Nafsu makannya membaik, meskipun ia tampaknya bertahan hidup hampir tidak tidur. Yoona merasa sakit karena semua seks itu, tapi itu membuatnya berhenti berpikir. Yoona tahu dia juga mengalami detoks sendiri, bukan secara fisik, tapi mental, membersihkan rasa bersalah dan kesedihan dari sistemnya.

Pemikirannya menjadi lebih jelas. Apa yang terjadi dengan Kris itu bukan salahnya. Chanyeol membuatnya percaya pada dirinya sendiri. Dan sepanjang waktu, saat mereka hidup kembali, hari semakin dekat ketika mereka harus menghadapi dunia luar. Mereka berdua tahu itu tapi dalam semua hal yang mereka bicarakan, tak satu pun dari mereka membicarakan tentang hal itu.

Mereka berbaring telungkup di tempat tidur, menatap satu sama lain.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Chanyeol.

Chanyeol menanyakan itu setidaknya lima kali sehari dan Yoona tak pernah memutar matanya. Yoona selalu memberinya jawaban.

“Kita kehabisan makanan,” katanya.

“Jadi tidak ada pilihan. Aku harus memakanmu. Aku telah memutuskan untuk memulai dari pantatmu, ditumis dalam mentega.”

Jari-jarinya berputar ke bawah tulang punggung Yoona hingga tangannya bertumpu pada pantatnya.

“Kupikir kau akan menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir? Lagi pula, kita sudah kehabisan mentega. Aku harus pergi belanja.”

Hati Chanyeol sakit dengan pikiran bahwa ia tidak mungkin bersama Yoona selamanya. Dia menarik Yoona ke dalam lengannya dan memeluknya. “Kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki,” bisiknya.

Chanyeol menatap langsung pada mata Yoona dan menghendakinya untuk memahami betapa pentingnya itu untuk Chanyeol.

“Terima kasih, Chanyeol.”

“Apakah aku sahabat baikmu juga?”

“Kau di sana dengan Edward.”

Chanyeol menegang. “Siapa sih Edward?”

“Menurut psikologku, dia adalah mekanisme mengatasi masalah yang membantuku berurusan dengan ketidakbahagiaan yang mendalam. Meskipun aku pikir dia ingin mentransferku ke psikiater ketika ia menyadari bahwa aku telah memilih Edward Scissorhands sebagai teman imajinerku.” Chanyeol tertawa dan santai lagi.

“Apakah kau punya teman sejati ketika kau masih kecil?” Chanyeol menyusuri pipinya dengan jari.

“Kadang-kadang kupikir aku punya, tapi jawabannya adalah tidak.”

Yoona menelusuri tangannya ke atas punggung Chanyeol dan ia mengambil napas dalam-dalam. Setiap kali Yoona menyentuhnya, rasanya seperti sihir pertama kalinya dan riak kenikmatan mengalir melalui tubuhnya.

“Tidakkah kau menginginkan sahabat?” Tanya Chanyeol.

“Satu saja sudah cukup. Kupikir memiliki seorang teman akan menjadi jawaban untuk segalanya. Tapi anak-anak yang kukenal selalu mengecewakanku. Mereka berbohong tentangku atau menyebarkan rahasiaku. Mereka tak pernah ada ketika itu penting, sehingga pada akhirnya aku berhenti berpikir teman akan membuat hidupku lebih baik. Jika aku tidak punya, maka mereka tidak bisa menyakitiku. Itu teori. Dalam prakteknya, semua orang berpikir aku adalah seorang cewek sombong dan menemukan cara lain untuk membalasnya padaku.”

Chanyeol memeluknya sedikit lebih erat, mencium keningnya. “Aku berharap aku ada di sana.”

“Jangan khawatir, Chanyeol. Aku sudah dewasa sekarang. Aku tidak akan bisa berubah jika Jiwon mencoret bonekaku atau Irene membakar bukuku.”

“Aku berharap aku akan menjadi saudara yang lebih baik untuk Taehyung. Aku mengabaikannya di sekolah. Kami sekolah seasrama dan aku seharusnya mengawasinya, tapi aku tidak. Terlalu sibuk menjadi Mr. Populer dan tidak khawatir tentang seorang anak kecil yang kesepian. Aku adalah kapten tim sepak bola, bermain tenis untuk daerah, bermain anggar untuk negara bahkan berhasil membentuk tiga gitaris dan seorang drummer biasa menjadi band setengah layak. Aku tidak punya waktu untuk adikku.”

“Apa yang terjadi dengan bandmu ketika kau meninggalkan sekolah?”

“Larut seperti salju jatuh di musim semi. Tapi aku membentuk lagi di universitas. Aku menaruh sebuah iklan di papan pengumuman serikat dan membuat audisi. Ya Tuhan, aku sombong.” Yoona batuk dan Chanyeol tertawa.

“Baiklah, aku masih sombong. Tapi jika mereka jelek, aku akan mengatakan pada mereka begitu. Band baru tidaklah buruk. Aku menulis semua lagu kami dan suatu malam ketika kami tampil, seseorang yang penting dalam dunia musik ada di antara para penonton. Orang tuaku sangat kecewa, semua impian untuk melakukan pekerjaan yang layak terbang langsung melalui jendela. Taehyung adalah orang yang seharusnya membuat impian mereka jadi kenyataan.” Chanyeol mendengar celaan dalam suaranya dan ia tahu Yoona juga mendengarnya.

“Siapa yang akan berbelanja?” Tanya Yoona.

Bersyukur ia mengganti topik, Chanyeol menyelipkan tangannya di antara kedua kaki Yoona.

“Apa kita harus?”

“Tiga biskuit keju yang tersisa dan aku tidak mau berbagi,” kata Yoona. “Kita berdua bisa pergi. Aku akan memegang tanganmu sehingga kau tidak tersesat.”

“Aku tidak ingin pergi keluar, khawatir seseorang akan mengenaliku. Kau saja. Dan bawa beberapa koran.”

Ketika Yoona kembali, Chanyeol sedang tidur, tergeletak telanjang di lantai di samping puzzle, rambutnya acak-acakan dan tubuh panjangnya yang ramping membentang di atas bantal seperti kucing besar lamban. Yoona merasakan aliran kasih sayang. Jigsaw itu setengah selesai. Di sela-sela bercinta mereka yang penuh semangat, mereka akan mengerjakan itu bersama-sama, memberi hadiah konyol untuk yang pertama kali memposisikan lima kepingan. Sebuah ciuman di pusar. Sepuluh keping, ciuman di tempat yang lebih intim. Chanyeol selalu curang dan Yoona kadang-kadang membiarkannya.

Merasa kasihan terhadap satu sama lain telah menghentikan mereka menyesali diri sendiri. Chanyeol membuka hatinya untuk Yoona, dan Yoona merasa bersalah dia tidak melakukan hal yang sama pada Chanyeol, tidak sepenuhnya. Itu masih tampak tidak nyata. Setiap kali Yoona menatapnya, dia tidak bisa benar-benar percaya. Chanyeol adalah hal terbaik yang pernah terjadi padanya, tapi Yoona tahu itu tidak akan bertahan. Chanyeol adalah bintang dan Yoona adalah puing-puing luar angkasa.

Yoona merayap ke sisinya dengan sebotol Stopit, cairan dengan rasa tidak enak untuk mengecat kuku, untuk menghentikan anak-anak menggigiti kukunya dengan cepat. Memegang miniatur sikat nilon di antara ibu jari dan telunjuk, Yoona melapisi masing-masing kuku pendek Chanyeol.

Pada saat Yoona menyimpan bahan makanan dan selesai memasak makanan normal pertama mereka selama berhari-hari, Chanyeol bangun. Dia juga menggeliat seperti kucing, lengan dan kaki diregangkan, dan kemudian berbalik untuk mencari Yoona.

“Dasom baik-baik saja.” katanya.

Yoona tersenyum.

“Aku melihatnya di internet. Dia siuman dan…terima kasih Tuhan. Apa yang bisa aku cium?” Tanyanya.

“Makanan.”

Dia berlari ke sisi Yoona, menelusuri jari-jarinya melalui rambut spiky-nya.

“Ini tidak adil,” gumamnya.

“Apa?”

“Kau sudah berpakaian dan aku belum.”

“Kau tahu di mana pakaianmu.” kata Yoona.

“Oke, aku akan memakainya dan itu pantas kau dapatkan.” Yoona tertawa saat ia berlari keluar dari ruangan. Sesaat kemudian, Chanyeol berteriak.

“Yoona! Kesini. Sekarang!”

Ketika Yoona pergi ke kamar tidur, dia tidak bisa melihat Chanyeol sejenak dan saat Yoona menemukannya bersembunyi di balik pintu, Chanyeol melompat ke depan dan mendorongnya ke tempat tidur, memutarnya, dan menjepitnya di punggungnya. Chanyeol duduk di pahanya dan Yoona mengerang.

“Itu menyakitkan.” kata Yoona.

“Ini juga.”

Chanyeol memasukkan jarinya ke dalam mulut Yoona dan memasukkan kukunya di atas lidah Yoona. Yoona tersedak, meraih pergelangan tangan Chanyeol dan menarik tangannya.

“Apa yang telah kau lakukan, dasar kau penyihir?” Desis Chanyeol. “Aku sudah mempersiapkan gigitan yang nyaman karena payudaramu tidak tersedia dan kupikir aku harus mencelupkan jariku ke dalam racun.”

“Ini untuk menghentikanmu menggigiti kuku.” Yoona berjuang untuk melepaskan diri.

Chanyeol mengerutkan kening dan meraih mulut Yoona dengan jari-jarinya.

“Jika kau melakukan itu lagi, aku akan mengecat putingku.” Kata Yoona.

Chanyeol menyeringai. “Kau tak akan berani. Kau suka aku menjilatinya.” Chanyeol menarik wajah lagi. “Hapus itu.”

“Ini demi kebaikanmu sendiri.” kata Yoona.

“Tapi mulutku rasanya jadi mengerikan.”

“Kalau begitu jangan gigiti kukumu.”

“Aku tidak suka padamu lagi.”

“Jadi kau tidak ingin apa yang sudah kumasak?”

“Mungkin aku menyukaimu. Apa yang kita punya?”

“Babat dengan bawang.”

Chanyeol memegang jari-jarinya di atas bibir Yoona. “Coba lagi.”

“Kue beras.”

Chanyeol berguling dari Yoona.

“Dan aku membeli sesuatu untuk di minum.” kata Yoona.

“Kupikir aku tidak diperbolehkan minum alkohol,”

“Itu untukku.”

“Kita harus berbagi. Supaya adil.”

“Dengan sajak seperti itu tak heran kau menyerah menulis lagu.”

Yoona menghindari tangan yang ingin meraih pantatnya dan kembali ke dapur. Chanyeol memakai celana tidurnya. Chanyeol pikir dia akan berhenti menulis lagu, tapi ia menulis satu di kepalanya tentang mata Yoona. Rasa takut di matanya ketika ia berada di laut, bagaimana mereka menyala ketika Chanyeol menggodanya, laksana mata kucing ketika Yoona berbaring di bawahnya, keliarannya ketika Chanyeol membuatnya orgasme.

Setelah mereka makan, Chanyeol membalik-balik surat kabar. Dia tidak melihat satupun namanya disebut dan pencarian internet yang telah dilakukannya ketika Yoona keluar tidak mengeluarkan sesuatu yang signifikan tentang dirinya selama seminggu terakhir. Kecuali Kim Dasom baik-baik saja.

Dua mujizat.

“Aku harus menelepon agenku,” kata Chanyeol.

“Kupikir dia sudah membuangmu.”

“Dia mungkin tidak bersungguh-sungguh.”

“Oke.”

“Aku tak ingin meneleponnya, tapi aku harus.”

“Maka kau sudah dewasa.” Yoona menarik kakinya ke sofa. “Melakukan hal-hal yang kau tahu harus kau lakukan, bukan apa yang kau inginkan.”

“Bagaimana denganmu? Kapan kau dewasa?” Chanyeol menjatuhkan lengan di bahu Yoona.

“Sudah lama, setelah aku menerima kenyatan bahwa tak ada seorang pun di luar sana yang sangat ingin memberi seorang gadis kecil sebuah rumah.”

Hati Chanyeol terluka untuknya. “Aku yakin kau benar-benar manis. Sayang sekali bahwa kau telah menjadi dewasa. Ambil album fotomu dan mari kita lihat seperti apa ketika kau masih kecil.”

Ada jeda sebelum Yoona berbicara. “Aku tidak punya foto.” Chanyeol terkejut.

“Apa? Tidak ada? Bahkan foto ibu dan ayahmu?”

“Tidak, aku tidak suka foto.” Yoona merasa malu dalam beberapa hari terakhir, Chanyeol mungkin tidak membahasnya, tapi sekarang ia ingin tahu segalanya.

“Mengapa tidak?”

“Aku hanya tidak suka.”

“Katakan padaku mengapa.”

Chanyeol nyaris bisa melihat gigi dan roda berputar di kepalanya saat Yoona bertanya-tanya apakah sebaiknya dia berbohong.

“Setelah aku lari dari rumah orang tua asuh untuk ketiga kalinya, aku dikirim ke sebuah rumah pusat perawatan di Jinan—tempat yang besar ini menaungi dua puluh lima anak-anak. Aku diberi ruang besar di loteng dengan kamar mandi sendiri dan itu tidak memperbaiki hubungan dengan orang lain. Kupikir aku sedang dijauhkan dari mereka karena staf telah menganggapku sebagai pengaruh buruk. Mereka melakukannya, tapi bukan itu alasannya.”

Chanyeol menarik kaki Yoona ke pangkuannya dan memijatnya.

“Aku bermaksud mengubah diri. Aku berencana untuk berusaha keras di sekolah, lulus ujian, mencoba untuk dekat dengan semua orang, tapi…”

Chanyeol merasa Yoona berubah pikiran. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.

“Aku bertengkar dengan salah satu gadis. Dia berbohong tentangku di sekolah, jadi aku memotong rambutnya saat ia sedang tidur. Untuk membalas dendam, ia merobek semua foto-fotoku.”

“Ingatkan aku untuk tidak membuatmu marah,” kata Chanyeol. “Ya Tuhan, dengan cara asuhanmu, aku terkejut kau bukan seorang lesbian misoginis (kebencian terhadap wanita secara berlebihan).”

“Ya, tapi kau sudah mengacaukanku, Chanyeol.”

“Ya, kukira aku sudah melakukannya.” Dia tertawa. “Tapi kau tidak bisa mengklaim itu secara sepihak.”

“Tidak, kupikir aku ingat sisi atas bawah dan belakang dengan baik.”

“Apa kau akan mengenakan pakaian dalam kulitmu dan duduk di pangkuanku sementara aku menelepon Kangjoon?” Chanyeol bertanya.

“Kenapa?”

“Jadi aku tahu akan mendapatkan hadiah ketika aku sudah bicara dengannya.”

“Tidak, aku akan mengalihkan perhatianmu. Lakukan sekarang. Kau harus pasang kabel teleponnya kembali.” Chanyeol tidak tahu bagaimana Kangjoon akan bereaksi. Dia mengatakan mereka selesai, tapi dia satu-satunya pria yang Chanyeol pernah percaya untuk menangani kepentingannya. Kangjoon telah menjadi agennya, manajer bisnis, asisten pribadi dan wartawan untuk waktu yang lama dan Chanyeol tak ingin memulai lagi dengan orang lain.

“Kangjoon?” Kata Chanyeol ragu-ragu.

“Kau banci sialan!” teriak Kangjoon.

Chanyeol meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya.

“Dari mana saja kau? Aku sudah berusaha untuk menghubungimu sepanjang minggu. Mesin penjawabmu sampai mendapat serangan stroke. Itu tidak akan bisa menerima pesan tambahan lagi. Ponselmu sudah mati. Aku sudah ke rumahmu. Tak ada yang melihatmu. Kupikir kau sudah diculik oleh makhluk alien sialan.”

“Aku sedang menenangkan isi kepalaku.” kata Chanyeol.

“Kau sudah melakukannya di kepalaku,” bentak Kangjoon.

“Ada apa?”

“Kau tidak layak mendapatkannya, tapi kau punya dua keberuntungan. Kim Jongwoon mengatakan jika kau tampil di konser amal pada bulan September, dia akan melupakan tentang pembatalan kontrakmu karena menghancurkan keluarganya. Kupikir dia berencana untuk mengupas bolamu.” Chanyeol bergidik.

“Dan untuk beberapa alasan yang tidak masuk akal kau diberi kesempatan lain di The Green. Ya Tuhan, aku hanya bisa menganggap orang lain yang mengikuti audisi telah kentut di wajah sutradara atau muntah di pangkuannya supaya kau kembali, tapi dia tidak. Kesner di Skotlandia dan besok hari terakhir sebelum ia terbang ke Eropa. Aku akan memesankan tiketmu ke Edinburgh. Hal bisa ikut penerbangan pertama. Jangan mengacaukan ini, Chanyeol.”

“Jadi, kau masih agenku?”

“Aku akan memberitahumu ketika kau sudah mendapatkan perannya.”

“Aku sudah berhenti merokok,” sembur Chanyeol dan melihat senyum di wajah Yoona.

“Bagus. Berhenti bersetubuh juga? Kim Hyuna meneleponku setiap hari ingin tahu di mana kau berada. Apa kau menidurinya juga?”

“Tidak, aku tidak menidurinya.”

“Nah, merokok adalah awalan.” kata Kangjoon.

“Ada sesuatu yang terjadi tentang Kim Dasom?” Chanyeol tidak bisa melihat Yoona sekarang.

Suara Kangjoon berubah. “Polisi sudah mempersiapkan dakwaan untuk Lee Hongki. Dia keluar dengan jaminan.”

“Mereka tidak mencari orang lain?”

Diam di ujung telepon.

“Apakah ada sesuatu yang tidak kau beritahukan padaku, Chanyeol?” Suara Kangjoon dingin.

“Tidak.”

“Apa kau memberinya kokain?”

“Tidak.” Chanyeol tidak bisa menatap Yoona.

“Baik, aku akan mengirim seorang sopir untuk menjemputmu besok. Akan menjemputmu pagi-pagi. Aku akan meneleponmu saat sudah tahu jadwal penerbangannya.”

“Beri aku kesempatan untuk kembali ke rumah,” kata Chanyeol.

“Di mana kau? Jangan katakan kau di luar negeri.”

“Gangnam.”

“Seoul?”

“Ya.”

“Terima kasih Tuhan untuk itu. Pulanglah. Sekarang.”

Chanyeol menutup telepon.

“Apa kau tahu dia hanya berumur empat belas?” Tanya Yoona.

“Tidak, aku bersumpah aku tidak tahu. Aku menidurinya sekali dan karena dia memintaku, aku menjatuhkan bungkus coke di perutnya sebelum aku berjalan keluar dari kamar tidur. Jika ada yang tahu, aku akan ditangkap dan itu akan menjadi akhir dari segalanya.”

Dia dan Yoona saling menatap.

“Apa kau pikir aku layak ditangkap?” Chanyeol bertanya. “Jangan menjawab pertanyaan itu. Aku tahu aku pantas.”

“Dia meminta coke padamu?”

“Ya, tapi aku tidak harus memberikan itu padanya.”

“Kau bukan orang jahat, Chanyeol. Kau tidak sebaik seperti Nelson Mandela dan Gandhi atau bahkan Osmonds, tapi kau tidak begitu jahat.” Chanyeol memberinya senyum kecil.

“Kau pikir kau tidak peduli, mengatakan kau tidak peduli, tapi aku tahu kau peduli.” kata Yoona.

Dia mengulurkan tangan dan menarik Yoona ke dalam pelukannya.

“Aku peduli padamu,” kata Chanyeol.

“Tapi kau berbohong dan berbohong akan mengirimmu langsung ke sidewinders yang licin, ketika kau sudah menghabiskan minggu ini menaiki tangga berkaki longgar.”

“Aku tidak bohong padamu.”

“Bagus.”

“Aku harus pergi ke Skotlandia untuk audisi lagi.”

“Dapat kesempatan lain?” Wajah Yoona bersinar. “Itu bagus, Chanyeol.”

“Hanya saja aku harus pergi besok.”

“Oke.”

“Aku tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan. Aku akan meneleponmu, sms, email, mengirimkan sinyal asap.” katanya.

“Bagus.”

“Kau bisa ikut denganku.”

“Kau tidak perlu aku untuk memegang tanganmu. Kau sudah dewasa sekarang. Tapi berhati-hatilah menyeberang jalan. Tengok kanan kiri. Dan pakai celana dalam yang bersih, untuk berjaga-jaga.”

“Aku tidak ingin pergi.”

“Ya, kau harus. Ini adalah kesempatanmu untuk memperbaiki keadaan. Lihatlah berapa banyak kebaikan yang telah kau lakukan. Menyelamatkanku dari rumput laut yang berbahaya, menyelamatkanku dari cengkeraman keji Dickhead Dastardly, memperkenalkanku pada kenikmatan bercinta terus menerus sepanjang hari dan anggota badan sakit seumur hidup.”

“Ikutlah denganku.” Please.

“Aku harus pergi bekerja besok. Bulan madu sudah selesai.” Suara Yoona pecah dan getaran gempa mengguncang hati Chanyeol.

“Aku akan meminjamkan uang untuk biaya taksi,” kata Yoona.

“Lebih baik kau menelepon tukang kunci dan segera bertemu dengannya, jika tidak kau tidak akan bisa masuk ke tempatmu.”

Chanyeol memeluk Yoona dengan erat, tulang pinggulnya menekan keras pinggul Yoona.

“Yoona, jangan bilang siapa-siapa kau bersamaku. Aku mengatakannya bukan karena aku tidak ingin orang tahu, aku hanya tidak ingin pers tahu dan jika ada yang tahu, siapa saja, pers juga akan mengetahuinya. Kau tidak mengerti seperti apa mereka. Aku mengerti. Wartawan tidak menghormati privasimu. Mereka akan menulis kebohongan tentangmu, memutarbalikkan segala sesuatu yang kau katakan dan lakukan. Setiap kata yang kau ucapkan akan dicatat dan digunakan untuk melawanmu dan melawanku. Ini jauh lebih baik jika tidak ada yang tahu tentang kita.”

“Oke,” katanya.

“Ada sesuatu diantara ‘kita‘, Yoona. Aku tidak berjalan keluar dari hidupmu.” Chanyeol menekan wajahnya ke rambutnya.

“Kau sudah tidak ingin mati, kan? Aku tidak akan pergi jika kupikir kau akan melakukan sesuatu yang bodoh. Lupakan tentang film. Kau lebih penting.”

“Aku berjanji tidak akan berbuat bodoh kecuali kau bersamaku. Sekarang ayo pergi dan pakai pakaian yang pantas sebelum aku mencabulimu lagi.” bisik Yoona.

Yoona memegang tangannya dan menariknya ke kamar tidur, mendorong ke bawah celana tidurnya dan kemudian memakaikan pakaiannya, menarik ke atas celana pendeknya, lalu chinos-nya. Menaikkan risletingnya, membelai ereksinya dan kemudian memasang kancingnya.

Rasanya seperti menjadi seorang anak lagi, Chanyeol pikir, tapi begitu erotis ia tersedak dengan nafsu. Chanyeol memaksa dirinya untuk tidak meraih Yoona karena jika dia melakukannya, ia pikir ia tidak akan mampu untuk meninggalkannya. Jari-jari Yoona menyentuh dadanya saat mengancingkan kemejanya.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Chanyeol.

“Apakah aku akan menyentuhmu lagi, merasakanmu lagi.”

“Jangan,” Chanyeol megap-megap.

Yoona mendudukkan Chanyeol di tempat tidur dan menyelipkan kaus kakinya, lalu sepatu botnya, mengikat talinya dan tidak ada yang tersisa untuk dilakukan. Yoona duduk di sampingnya di tempat tidur.

“Buka tanganmu.” kata Chanyeol.

Dia memberi Yoona botol kecil Stopit.

“Taruhlah lebih banyak lagi jadi aku tidak tergoda.”

Yoona mengecat masing-masing kukunya. Ketika selesai Chanyeol meraih tangan Yoona dan melapisi kukunya juga.

“Hanya supaya kau tidak tergoda.”

Mereka berdiri memeluk satu sama lain sampai bel berbunyi. Chanyeol membiarkan Yoona pergi.

Bye, Chanyeol,” bisik Yoona.

“Jadilah brilian.”

“Hei, aku seorang bintang.”

Chanyeol berjalan mundur, melihat Yoona sampai saat-saat terakhir.

TBC

20 thoughts on “[FF Remake] Strangers (Chapter 4)

  1. Auhh.. Mereka berpisah.
    Aku harap Chanyeol tidak berubah haluan. Tolong rubahlah dirimu.
    Aku harap kalian (YoonYeol) bener2 bersatu..

    Bercinta sepanjang waktu, memberi Kris pelajaran. Dan adegan itu sukses bikin aku terharu.kkk serta sedikit demi sedikit Chanyeol sembuh dari Addict dia terhadap hal2 yg buruk.

    Aahhh aku rasa Remake ff ini benar2 keren.
    Ditunggu next partnya.
    The Vampir Dark Heroin juga doong..

    Like

  2. astagaaa kok jd nyesek T.T
    ngebut aku baca lngsung sampe chapter 4. cepet bgt ya thor dipostnya. perasaan baru td ngomen di prolog 😀
    tapi makasih lho sdh rajin post.
    Semoga Author-nim selalu sehat supaya bisa terus berkarya. Oh iy ditunggu juga lanjutan ‘The Girl’ nanggung bgt soalx XD hehe

    Like

  3. Maaf gak comment di beberapa aprt, soalnya load gak nalar–”
    Baru sekarang deh.
    Thor, aku nangis…
    Sedih bgt..
    Jgn sampek Chanyeol kayak kris ya thor:(
    Chanyeol tetep ama Yoona❤️
    Thor aku nangis sambil denger lagu seohyun-i’ll wait you… Ngene banget, pas banget sama bagian terakhirnya:”( author tega bgt sama yoona huhu;”(

    Like

  4. Ya ampyuuun bercinta setiap waktu? G lelah?
    yaah brpisah deh! Mdh2an bertemu kembali ya.
    Oh iya thor! The Dark Heroine – Dating With A Vampir cpt dilanjut dooong!

    Like

  5. Yak, knapa mereke berpisah ?
    syukurlah chanyeol udh mulai berhenti merokok dan kokain juga, tpi smoga kecanduanx trhadap yoona ngk bakalan hilang

    Like

  6. Aduhh kok gue pengen nangis ya pas mereka berfpisahh dann akan banyak tantangan lgi kdpan bgi hubngan mereka , what the hell kriss dtg lgi dasarr ga tau malu ckkckc

    Like

  7. koq aku jadi takut chanyeol pergi
    takut dia ga balik lagi
    terus yoona sedih lagi kaya waktu kris ninggalin dia
    kris balik. nyeselkah?
    sukurdeh chanyeol’a belain yoona..
    udah beberapa hari ini author terus post ff baru.
    coba kalo setiap hari gini terus 😀
    (maunya..)

    Like

  8. wehhh… ceritanya cepet lanjutnya nih,..

    Yoona keknya jago banget mengalihkan Parkchan dr candunya ama tuh barang2 yg buruk.

    Semoga YoonYeol bisa bersama.. sedih mereka mau pisah u,u

    jadi keinget ama cerita Fifty Shades of Grey waktu Yoong ngiket tangan Yeol.. kkk~

    Ditunggu kelanjutannya author…

    Like

  9. So sweet~
    Yeolli gak bisa jauh2 dari yoong. Kepengen juga ngerasain rasanya menjadi begitu berharga :’)
    Semoga gak ada hal buruk yg terjadi di kemudian hari
    Next soon ~

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.